ADD THE SLIDER CODE HERE

Sunday, February 8, 2015

Finishing Well

Tema khotbah hari ini sungguh menggetarkan.
Finishing well.

Pak Sumarno Kosasih membuka khotbahnya dengan mengutip penelitian, Dr. J. Robert Clinton, seorang pengajar Kepemimpinan di Fuller Theological Seminary. Dari hasil risetnya, Dr. Bobby Clinton menemukan bahwa hanya 1 dari 3 tokoh di Alkitab yang akan menuntaskan hidupnya dengan terpuji. Artinya 2 dari 3 orang gagal mengerjakan panggilannya.

Tiga tahap dalam kehidupan seorang manusia adalah:
1. Awal. Awal yang baik adalah modal.
2. Pelaksanaan. Bagaimana kita menjalaninya juga penting
3. Namun, bagaimana kita mengakhirinya adalah yang paling penting

Beberapa tokoh Alkitab yang sangat terkenal akan kehebatannya tak mampu memberikan akhir yang baik. Mereka gagal menuntaskan dengan terpuji. Masalah-masalah yang tak dapat mereka atasi berkisar tentang kebiasaan buruk, wanita, ketidaktaatan, maupun problem karakter, mereka tidak cukup kuat.
Nuh, Saul, Salomo, di Perjanjian Lama dan Demas di Perjanjian Baru adalah beberapa contoh pemimpin yang gagal menyelesaikan garis akhir dengan terpuji. Sementara Daniel dan Paulus adalah contoh dua tokoh berintegritas tinggi yang masing-masing mewakili kitab PL dan PL. Mereka mampu menyelesaikan panggilan sampai garis akhir dengan cemerlang. Mengapa dua tokoh ini mampu?

Dengan mengambil teladan dari Paulus, kita bisa lihat apa saja yang telah menjaga hidupnya sehingga ia mampu bertahan hingga kesudahannya.
Paulus mengawali perjalanan kekristenannya berkat dua orang yang telah menjadi mentor, menjadi pemurid baginya: Ananias, juga Barnabas.
Dia juga tidak pernah hidup sendiri, Paulus hidup dalam komunitas. Dia punya Silas sebagai rekan, Timotius sebagai anak rohaninya, juga para penatua di Efesus.
Dalam perjalanannya menjadi seorang rasul, seorang misionaris, seorang perintis, dia menjaga hatinya sedemikian rupa. Di Kisah Rasul 20 yang kemungkinan besar ditulis oleh Lukas, disebutkan bagaimana Paulus menjaga hatinya:
- dengan kerendahan hati (ay 19)
- dengan menjaga kelakuannya bersih, tidak bercela (ay 26)
- tidak lalai menjadi penyampai maksud Tuhan (ay 27)
- tidak tamak akan harta, bahkan Paulus tidak mengambil uang jemaat, dia bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri (ay 33)

Menjelang akhir hidupnya, Paulus menulis kepada Timotius, anak rohani yang dikasihinya,

"Aku telah mengakhiri pertandingan, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya." 2 Timotius 4:7-8

Apakah kita (baca: saya) akan menyelesaikan semuanya dengan baik, dengan sangat baik?

Saturday, January 31, 2015

Bincang Toilet

Sebagian orang menganggap kata 'toilet' itu kurang sedap didengar, karena kita lebih suka mendengar kata 'kamar kecil' ketimbang 'WC' atau bahkan 'jamban', bukan?

Nah, saya tidak menyangka toilet ini bisa masalah yang cukup berarti bagi keluarga kami saat berkunjung ke Australia akhir tahun 2014 lalu. Apa pasal? Tak lain tak bukan adalah absennya benda maha penting bernama semprotan toilet.

Friday, January 30, 2015

Kita Bertemu Lagi, iSport!

Jumat, 28 November 2014, kami sekeluarga tergopoh-gopoh berangkat naik Innova sewaan menuju airport Sukarno-Hatta. Kami akan berangkat ke Sydney hari itu, transit satu kali di Kuala Lumpur.
Namun kisah ini bukan tentang perjalanan kami, melainkan tentang si stroller biru-hitam ini.

Tuesday, January 27, 2015

Aku dan Vegemite

Pernah dengar, tapi tidak tahu itu apa. 

Lalu kulihat namanya di sarung drum seorang pemain marching band pada suatu festival di Darling Square, Sydney.



Hingga suatu hari di ruang bernama Bunya Room di sebuah penginapan di Albury. 
Kulihat beberapa tamu menyantap roti panggang dengan olesan selai kehitaman. Coklatkah? Atau bluberry? Tampak nikmat sekali mereka melahapnya. 


Vegemite nyaris selalu tersedia di hotel-hotel yang kami singgahi
Di situlah jumpa sesungguhnya terjadi antaraku dengannya. Kuning, merah, putih adalah dirinya tampak luar. Di dalam, dia adalah hitam kecoklatan belaka. Tidak menarik. Namun aku tertantang. 
Kucolek sedikit. Bleh (!), apa ini? Tidak enak! Seperti memakan campuran petis (yang memang tidak kusuka) dan terasi berkualitas buruk
Tak lama berselang, seorang teman memberikan saran: oleskan tipis-tipis bersama margarine di atas roti panggang yang masih hangat. Rotinya harus terpanggang cukup lama. 
Kucoba. Ya, bisa dimakan sekarang. Enak? Tidak. :p 
Mungkin dia ini semacam acquired taste. Walau terus terang, rasanya aku emoh mencobanya lagi. Mungkin kalau terpaksa akan kupertimbangkan.

Orang satu ini mengaku tak ada masalah dengan Vegemite:
Toast and vegemite
Sekilas Vegemite (rangkuman dari berbagai sumber)
yang beneeer?
Kebanggaan Australia ini, telah ada sejak tahun1923. Vegemite adalah selai yang terbuat dari konsentrat ragi dan ekstrak barley. Walau memang butuh waktu untuk 'cocok' dengan rasanya, tak bisa disangkal Vegemite selalu berada di daftar teratas belanja bulanan di Aussie. 
Berbeda dengan kebanyakan olesan roti, Vegemite akan menambahkan rasa asin gurih kepada roti panggang kita. Sekali lagi, memang butuh waktu untuk dapat mengenal dan akhirnya bisa menyukai rasanya. Namun, konon hanya Aussie sejati yang bisa sebegitu bangganya dengan Vegemite yang selalu hadir di meja-meja makan mereka, dari Perth hingga Brisbane, Darwin hingga Melbourne.

Vegemite kaya dengan B1, B2, B3, dan asam folat. Satu kemasan kecil 5g sudah mampu memenuhi 25-50% kebutuhan kita akan keempat vitamin ini. Hebatnya, sudah lebih dari 80 tahun, resep asli Vegemite ini nyaris tidak mengalami perubahan. 22 juta stoples Vegemite terjual tiap tahun, Waks!

Ini saran menikmatinya:


Bagaimana, cukup mudah, kan?

Sunday, January 25, 2015

Immigration Museum: Life Redefined

Pernah meneteskan air mata di dalam museum? Saya pernah. Di sini.

Dari sedikit museum yang pernah saya kunjungi, tak banyak museum yang membuat saya terkesan. Museum Satwa di Batu salah satu yang membuat saya berdecak kagum, museum sejarah perang di Canberra, dan museum Imigrasi di Melbourne adalah tiga museum yang paling mengesankan untuk saya. Dari ketiganya, museum Imigrasilah yang paling membuat saya tersentuh.

Museum yang satu ini sungguh berbeda. Ada begitu banyak cerita di dalamnya, yang berkisah tentang begitu banyak kehidupan baru yang coba didefinisikan ulang oleh pelakunya.

Brosur Immigration Museum yang kami ambil dari trem 

Immigration Museum ini terletak di pusat kota Melbourne, tak begitu jauh dari Flinders Street Station, bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Setelah membayar tiket masuk, kami diberikan denah museum dan rekomendasi untuk memulai petualangan kami dari mana. Museum ini terdiri dari 3 lantai, dan tiket masuk museum ini adalah AUD 12 untuk orang dewasa, dan gratis untuk anak-anak di bawah 16 tahun. 

Kami memulainya dengan masuk ke Discovery Centre. Isinya adalah banyak buku, dan media lainnya. Ada beberapa arsip yang mencatat kedatangan para imigran ke Australia selama periode tertentu. Seperti ini misalnya:

Incoming Ship List to Station Pier 1924-1964
Di sini juga ada komputer yang bisa digunakan untuk mencari data. Saya bayangkan seseorang sedang mencoba mencari akarnya, mencoba merunut sejarah keluarganya di situ, mencoba menelusuri jejaknya di negara tersebut, seperti yang dilakukan anak laki-laki ini. Hahaha.
Who am I?
Ada sebuah buku yang menarik perhatian saya, berjudul The Really Big Beliefs Project. Ceritanya, ada dua murid kelas 6, Emma Barnard dan Thomas Cho, yang memilih menulis tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada (baca: agama) saat mendapat tugas menulis dari sekolah. Lalu, mereka mewawancara penganut kepercayaan tersebut. Kristen/Katolik, Islam, Hindu, Buddha, Tao, Sikh, Shinto, dan sepertinya masih ada lagi. Yang mau baca, beberapa sampel halamannya bisa dibaca di sini.

Cover. Penulis aslinya adalah Meredith Costain
Saya coba fotoin dua halaman pertama yang membahas tugas mereka, ini urut, ya.
Christianity
Islam
Saya bayangkan, alangkah baiknya jika anak-anak Indonesia mendapat tugas seperti ini, agar mereka dapat lebih kenal langsung tentang agama-agama di Indonesia, dan mendengarnya langsung dari nara sumbernya, bukan dari pihak ketiga. Alangkah indahnya, jika anak Indonesia bisa melihat saudara sebangsanya sebagai bagian dari dirinya yang berbeda tetapi tak lain tak bukan adalah saudaranya. Tapi mungkin agak sulit, karena memang ada beberapa pihak yang merasa tidak aman, insecure dengan keyakinan mereka, sehingga takut teracuni. Sebelum kita bisa keluar dari ketidakamanan kita, menurut saya, apa yang kita yakini itu belum bisa disebut keyakinan. Keyakinan atau ketidakyakinan?

Kami kemudian naik ke lantai dua, masuk ruang pamer bernama Leaving Home yang sedang memutar film dokumenter tentang para imigran. Film pendek yang sangat mengharukan. Pandangan saya tiba-tiba kabur saat film berkisah tentang pertemuan yang terjadi setelah bertahun-tahun berpisah, atau kesan seorang istri yang baru pertama kali melihat suaminya setelah dijodohkan keluarga karena sang suami ada di Australia. Pipi saya terasa basah saat seorang imigran asal Sudan berkata, "Selama ini saya pikir semua orang seperti saya. Setiap hari harus mengambil air berkilo-kilometer. Harus berjuang untuk mencari makan, dst." Juga cerita mereka yang mencari suaka politik ke Australia. Kisah-kisah itu mendebarkan sekaligus mengharukan. Tidak semua imigran ini datang dengan suka rela. Banyak juga yang terpaksa meninggalkan tanah airnya demi sebuah kemerdekaan.

Keluar dari ruang ini, kami melihat sebuah ruang pamer berbentuk kapal yang diberi nama Journey Gallery.

Kapalnya. Source: http://museumvictoria.com.au
Lihat anak kecil ini, terlihat begitu sengsara di dalam kapal
Di dalam kapal, akan kita temukan setting yang dibuat menyerupai pelayaran pada masa itu. Kapalnya sangat sederhana. Ada tong-tong berisi persediaan makanan, ranjang dua tingkat, dan toilet. Sedangkan di bagian luar kapal, ada jendela-jendela bulat yang jika kita intip, isinya adalah binatang-binatang yang ikut berimigrasi bersama para imigran manusia. Ada tikus, burung, kecoak, dan beberapa binatang lain.

Naik ke lantai berikut, adalah Identity: Yours, Mine, Ours. Di sini kita bisa memutar kisah-kisah personal para imigran. Mereka akan berkisah tentang pengalaman, perjuangan, tantangan, dan kehidupan mereka sebagai pendatang.
Kemudian ada lagi pohon harapan, di sini para pengunjung dapat menggantung harapan-harapan mereka.
The Wishes. source: http://museumvictoria.com.au


Bayangkan seluruh hidupmu kaujejalkan ke dalam sebuah koper 
Bersiap berangkat ke sebuah tempat yang tak kaukenal
Kau akan tercabut dari asalmu
Kau akan temukan hal-hal baru, 
sedemikian baru hingga terasa asing bagimu. 
Entahkah kau akan berhasil
atau kau harus mengakui kekalahanmu
Di sanalah akan kau buktikan
Di tempat barumu
Yang kelak akan kau panggil: Rumah


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan: Kejadian penyanderaan di Martin's Place, Sydney di bulan Desember 2014 ini juga menceritakan sisi gelap seorang imigran. Dia yang mendapat suaka, mendapat perlindungan dari pemerintahan dan rakyat Australia, menodai kepercayaan yang telah diberikan. Saya bisa bayangkan luka yang ditimbulkan oleh ulah pendatang yang tidak punya itikad baik seperti ini. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi.