Wednesday, August 7, 2013

Vihara atau Wihara?

[peringatan: posting ini panjang dan berbau curhat] :p

Saya ini sangat suka menelusuri masalah-masalah yang timbul akibat proses transliterasi/transkripsi yang tidak berlangsung terlalu mulus antar dua bahasa yang sangat berbeda. Sempat terjadi kebingungan di dalam masyarakat, manakah yang benar: InshaAllah (seperti yang diajarkan oleh ulama-ulama asing, karena mereka tentu merujuk pada bahasa Inggris yang menggunakan kombinasi 'sh' untuk menghasilkan bunyi 'sy' di bahasa Indonesia) atau Insya Allah, seperti yang sudah selama ini diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Hal ini pernah didiskusikan dalam sebuah grup menulis untuk ibu-ibu. Seorang peserta diskusi yang tinggal di Timur Tengah bercerita, bahwa di Arab sendiri tidak ada standar untuk romanisasi huruf Arab ke dalam tulisan latin. Misalnya, ada yang menulis Shareef, Sharif. Buat mereka, yang lebih penting adalah pelafalan dan penulisannya dalam huruf Arab benar. Jadi, bagaimana kita melafalkannya, itulah yang lebih penting. (Padahal di Indonesia, Syarif, Sarif, Sarip itu sah-sah saja).

Tiap bahasa itu punya bunyi bahasa yang berbeda. Contoh paling gampang buat saya adalah bahasa Sunda. Cobalah yang bukan penutur bahasa Sunda ucapkan kata peuyeum. Sulit! Saya belum juga mendekati benar membunyikannya, walau sudah saya kerahkan segenap kemampuan saya. Saya juga tidak berhasil meniru bunyi 'd' dalam bahasa Jawa; bunyi 'd' yang dipakai untuk kata edan, bukan d untuk pada/dibaca podho. Itu baru bahasa-bahasa di Indonesia. Bagaimana dengan bahasa yang jelas-jelas asing dan bukan bagian dari budaya kita?

Bahasa Cina pun menghadirkan masalah yang sama. Tahu kwetiaw? Makanan jenis pasta-pastaan yang terbuat dari tepung beras, dan bentuknya memanjang? Tidak ada standar yang mengatur penulisannya. Ada yang menulisnya kwetiaw, ada yang kwetiau, kuetiau, bahkan kuetio -- oleh penutur bahasa Jawa -- karena diftong 'aw' ini memang sulit dilafalkan oleh penutur bahasa Jawa. Padahal, kata yang aslinya tulisannya begini: 粿條, di Singapore atau Malaysia; negara yang lebih aktif menggunakan bahasa Inggris ketimbang negara kita; ditulis dalam bentuk latin kway teow sesuai dialek Hokkien.  Apakah ini salah?

Juga dari bahasa Ibrani ke bahasa kita.  שָׁלוֹם seharusnya dituliskan sebagai 'shalom' atau 'syalom'? יהוה --> Jehovah, Yehova, Yahweh atau Yehuwa? ישוע hasil transkripnya adalah Yeshua, tetapi mengapa disebut sebagai Yesus dalam Alkitab Bahasa Indonesia? Karena Alkitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, dan ejaan nama Yesus dalam bahasa Yunani adalah Iesous. Salahkah itu?

Belum lama ini, seorang teman di Facebook menulis status di wall-nya, bahwa wartawan media online yang menggunakan kata 'wihara' alih-alih 'vihara' di dalam sebuah berita adalah wartawan yang tidak sepintar rekan wartawan dari media lain yang menggunakan kata 'vihara'.

Saya ingat betul di buku pelajaran PMP (sekarang PPKN) kelas 1, tertulis bahwa tempat ibadah umat Buddha adalah: wihara. Wihara dengan huruf 'w' bukan 'v'. Jadi saya katakan kepadanya tentang itu. Apalagi jika dicari di situs KBBI -- Kamus Besar Bahasa Indonesia -- lema vihara tidak ada, yang ada wihara.

Ketika saya berkesempatan merantau ke Jogja, saya bertemu seorang teman dari Medan berlatar belakang agama Buddha. Teman saya itu selalu menyebut tempat ibadahnya itu sebagai vihara dengan huruf 'v'. Jadi saya langsung mengira seperti itulah harusnya vihara dibaca, bukan wihara. Maka sejak saat itu pun saya menyebutnya vihara dengan 'v'.

Bertahun-tahun kemudian, ketika ada peristiwa pengeboman Vihara Ekayana di daerah Tanjung Duren, saya pun mencoba mencari referensi di wikipedia. Ternyata vihara itu harusnya dibaca wihara, atau terdengar seperti wihara, karena vihara ini adalah transliterasi yang dipakai dunia internasional untuk bahasa Sansekerta:  विहार (saya tidak tahu nama huruf ini, mungkinkah ini huruf Palawa?).
Jadi, mungkin timbul kebingungan di masyarakat penutur bahasa Indonesia yang tidak punya kebiasaan melafalkan huruf 'v' sebagai 'w', sehingga vihara pun terbaca dengan cara Indonesia, ya vihara. Padahal harusnya dibaca wihara.

Teman saya itu rupanya tidak percaya bahwa ketika SD kelas 1 saya diajar oleh guru saya, bahwa tempat ibadah umat Buddha adalah wihara. Dia yakin sekali yang benar adalah vihara.
Jadi, demi membuktikan bahwa ingatan saya yang biasanya bisa saya percaya untuk hal-hal yang tidak dianggap pentin oleh kebanyakan orang ini tidak salah, saya mencari-cari di internet, apakah ada orang yang iseng mengunggah halaman dalam buku pelajaran PMP jadul itu. Tidak ada. Tapi saya ketemu di buku PPKN versi sekarang, tetap kata wihara yang digunakan.
Kedua buku elektronik ini, adalah kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan yang sudah disetujui oleh Departemen Pendidikan Nasional, dan sudah dibeli hak ciptanya, sehingga bisa diunduh gratis. Saya ambil dari sini:
PKn 1
Penulis : Suliasih, Priyati E, Ridwan Effendi

Sumber: Pendidikan Kewarganegaraan
Penulis : Tijan, Slamet, Sri Untari, Edi Santoso, Sumarto

Ternyata kata 'wihara' ternyata sampai hari ini masih tetap jadi rujukan untuk buku PKN sekarang. Masalah ada yang lebih suka menulisnya vihara, menurut saya tidak salah juga. Karena orang biasanya punya preferensi sendiri, apalagi yang berhubungan dengan agama. Orang ingin menghormati akar dari agama tersebut. Setahu saya, di Islam pun ada semacam ketidaksepakatan penulisan beberapa kata. Ada yang menganut cara tulis internasional (baca: Bahasa Inggris), satu lagi yang tetap menjunjung tinggi aturan yang dipakai dalam Bahasa Indonesia baku.

Ini kira-kira seperti kata computer dan komputer. Dua-duanya tidak salah. Orang Indonesia boleh-boleh saja menuliskannya computer, karena kata ini memang benar, walaupun mereka tahu untuk tidak membacanya dengan pelafalan Indonesia, mereka tahu computer itu sudah seharusnya dibaca dengan 'k' bukan 'c'-nya alfabet Indonesia. Karena, begitulah bahasa kita, kata serapan dari bahasa asing biasanya ditulis berdasarkan bunyinya. Bahkan kata 'biara' pun konon berasal dari kata vihara ini, akibat lidah masyarakat (jaman dulu kala, tentu) lebih mudah melafalkannya menjadi 'b'. Konon. CMIIW.

Jadi, terima kasih kepada teman saya itu, berkat dia saya jadi tahu, wiharalah yang baku, dan tulisan vihara itu seharusnya dibaca sebagai wihara. Namun, sepertinya dia enggan percaya, karena saya bukan ahli bahasa yaitu orang-orang yang biasa mengisi rubrik bahasa kesukaan saya di Harian Kompas. Tentu saja saya tidak bisa dibandingkan dengan Anton Moeliono, JS Badudu, Salomo Simanungkalit, Lie Charlie, atau bahkan André Möller, orang Swedia pemerhati Bahasa Indonesia. Saya yang orang Indonesia, walau suka dan punya minat dengan bahasa sendiri ini tentu tak bisa dibandingkan dengan para ahli yang saya sebut namanya di atas. Saya baru di level peminat. Mungkin saya harus ambil kuliah bahasa Indonesia, lalu mendapat gelar linguis, barulah ada orang yang mau mendengarkan saya.



Apakah nama kitab suci agama Hindu? Weda atau veda? Sejak dahulu kala orang Indonesia menulisnya weda. Kini setelah internet berkembang pesat, dunia menjadi sempit, orang-orang Indonesia jadi tahu, bahwa di India sana, juga di dunia internasional, kata veda yang jamak digunakan. Lalu, apakah mulai ada yang meragukan keabsahan dan meninggalkan penggunaan kata weda dan menggantinya dengan 'veda'? Mungkin saja.

Kesimpulan pribadi saya, tidak ada yang salah untuk penulisan vihara maupun wihara, weda maupun veda. Pilihlah yang paling berkenan di hati.

No comments :

Post a Comment