Hari pertama dibuka, nampak antrian di pintu-pintu masuknya yang ditutup untuk sementara untuk publik. Ketika itu, bunyi gaduh barongsai ikut meramaikan prosesi peresmian mal baru karya pengembang Summarecon yang sangat berjaya di Kelapa Gading.
Begitu sulit mencari tempat kosong di area parkir pada hari-hari pertama. Di dalam pun tak kalah padat. Rasanya semua orang Serpong tumplek blek di sini. Berbagai kalangan hadir ingin mengalami sendiri mal yang konon katanya telah lama dinanti-nanti masyarakat Serpong. Atau, mereka juga ingin melihat dari dekat artis-artis ibu kota seperti Pingkan Mambo, Kerispatih, Tina Toon, Twilite Orchestra & Sherina, dan banyak lagi.
Denyut kehidupan terasa lebih cepat sejak saat itu.
Malam yang biasanya senyap kini digantikan oleh ingar-bingar musik yang tetap hidup sampai larut malam. Lampu berkekuatan ribuan watt juga dipancarkan dari wilayah Sentra Gading Serpong ini.
Di area Downtown Walk-nya, aktivitas masih bergulir selepas malam. Cafe dan resto nan nyaman, menjadi penawar lelah kepenatan aktivitas hari itu. Bahkan, satu kedai khusus dipersembahkan untuk penggemar bir. Koneksi internet Wi-Fi gratis persembahan NetZap juga hadir menemani mereka yang asyik menyeruput kopi atau mengunyah kentang goreng.
Modern? Ya.
Gading Serpong adalah sebuah kawasan pemukiman yang dikerjakan oleh dua pengembang, Summarecon dan Paramount (d/h Ambassador). Menurut pengamatan pribadi, profil penghuni kawasan ini adalah keluarga muda dan para pengusaha yang sudah cukup mapan. Kehadiran sekolah-sekolah sekaliber SMAK, Tunas Bangsa, Tarakanita, belum lagi taman bermain (playgroup) dwi bahasa yang tak terbilang banyaknya, membuktikan hal ini.
Kehidupan begitu tenang di sini, berorientasi keluarga dan khas daerah pinggir kota. Bagi mereka yang biasa tinggal di kawasan padat Jakarta seperti saya, daerah sini sungguh menawarkan sebuah alternatif yang menyenangkan. Tempat ini terasa lebih tradisional, agak sedikit kuno ketimbang kota tetangga Jakarta, namun menentramkan hati. Jauh dari kehidupan borju dan materialis.
Kini, sebuah mal dengan konsep modern hadir dan mengubah wajah Gading Serpong. Saya begitu bangga saat mendengar bunyi-bunyian indah orkestrasi Twilite Orchestra membahana di atrium mal, terharu melihat wajah masyarakat asli sini yang tampak begitu mendamba, haus hiburan. Saya juga bangga melihat mal ini memberikan fasilitas pinjaman kursi roda dan kereta dorong anak. Bangga melihat toko stationery PaperClip yang begitu besar dan bahkan menyediakan fasilitas fotokopi seharga Rp 150/lembar. Bangga melihat bioskop XXI yang menghadirkan film-film terbaru. Dan berbahagia karena Gramedia kini hanya berjarak 5 menit.
Namun, dalam hati kecil saya merasa konsumtivisme akan segera datang menggeser keindahan tradisionalisme tadi. Pelan namun pasti tingkat kehidupan akan terus ter-upgrade. Seperti yang sebuah MLM lakukan, menjaring konsumen loyal dengan cara menjual mimpi. Mengupgrade lifestyle membernya sehingga lama-lama tak sadar kantong sedang tergerus.
Apa yang sedang saya bicarakan?
Anak-anak sekolah yang biasanya ada di rumah selepas senja, kini punya tempat tongkrongan baru. Kalau biasanya mereka pergi dengan orangtua, mungkin kini akan pergi bersama gang-nya. Nonton di studio XXI, jajan di KFC atau ngopi di Starbucks, sambil mendengar suguhan musik hidup. Shopaholics on the making.
Saya, memilih menyikapinya dengan lebih sering ngendon di rumah kami yang tenang, yang agak terisolasi namun berjarak tak sampai 1 km dari si SMS. Lebih baik saya tetap belanja di pasar modern Sinpasa atau toserba Gading yang sederhana namun lengkap. Meski demikian Gramedia, J.Co, BreadTalk, XXI serasa memanggil-manggil untuk datang.
Selamat datang konsumtivisme.
pengen nih mampir..tp tiap balik indo no time..:(
ReplyDelete