Wednesday, February 17, 2010

The Transformed Me

Pendahuluan:
Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba menulis dalam rangka ulangtahun seorang Risa Amrikasai yang diadakan oleh Rose Heart Publisher. Tadinya penerbit berencana untuk menerbitkan semua tulisan yang masuk ke meja redaksi. Tulisan ini lalu terpilih untuk mendapat tempat pertama. Saya sudah senang sekali karena memang ada cita-cita punya minimal satu buku.
Namun rencana penerbitan batal karena topik yang masuk terlalu beragam, kurang bagus untuk dijadikan sebuah buku. Jadi, daripada mubazir, ditulis saja dalam blog ini. Semoga bisa berguna untuk orang lain.

Aku dalam Kilasan Waktu

A
ku 20 tahun lalu punya mimpi akan meninggalkan kota kecilku ini dan bersekolah di Jogja. Masih dalam seragam putih biru, pulau Jawa terlihat begitu gemerlap bagiku. Meski tiap tahun hampir pasti rumah kakekku di Jakarta jadi tempatku menghabiskan libur sekolah, aku tidak tertarik melanjutkan sekolah di sana. Aku kurang begitu menyukai Jakarta. Di pikiran remajaku kali itu, orang-orang Jakarta sok, sombong dan sering menganggap remeh orang daerah seperti kami.

Kota kecilku adalah sebuah kecamatan di Bangka Utara di mana pantainya berpasir putih cemerlang, dan birunya laut utara bergradasi dengan elok membentang jauh sampai ke Laut China Selatan. Pantai dengan batu-batu besar menakjubkan yang dari dalam lautnya telah menghidupi begitu banyak warganya. Perairan yang telah memberikan hasil laut melimpah. Daging ikan, udang, kepiting dan cuminya terasa manis saking segarnya. Apalagi jika hasil tangkapan dibakar langsung di tepi pantai, nikmatnya tiada terkira.

Pembangunan berjalan sangat lambat di sini. PLN belum masuk, Telkom apalagi. Jangan bingung. Walau tidak ada PLN listrik kami disupport sepenuhnya oleh perusahaan timah milik negara yang waktu itu namanya TTB (Tambang Timah Bangka). Waktu itu Bangka belum jadi provinsi sendiri, masih masuk provinsi Sumatera Selatan.

Jalan depan rumahku bolong-bolong beraspal sebagian dengan menyisakan sebagian tanah kuning di sisi-sisi jalan yang selalu beterbangan masuk ke dalam rumah. Jika aku pulang sekolah, kadang jejak roda sepedaku membekas kuning di lantai semen rumahku.

Cita-citaku kuat dan pasti. Aku akan bersekolah di Jogja seperti beberapa orang temanku yang melanjutkan sekolah di Palembang, Jakarta, dan Bandung. Tidak terlalu banyak yang memilih Jogja. Kebanyakan temanku memilih Jakarta, karena punya kerabat di sana. Memang orang Bangka punya kecenderungan merantau ke Jakarta.

Di Jogja aku masuk sebuah SMA khusus putri Stella Duce. Tadinya aku ingin masuk sekolah negeri. Maklum dari TK sampai SMP aku selalu berada di sekolah katolik, ingin ganti suasana. Sayang, nilai NEM-ku tidak cukup untuk masuk ke SMA negeri unggulan di kota pelajar ini. Tersisa hanya sedikit pilihan dan aku diyakinkan bahwa ini bukan pilihan yang bijak, selain itu lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggalku nanti. Sementara itu, NEM-ku masih di atas standar untuk masuk sekolah katolik tua ini.

Untunglah. Aku tidak perlu menyesali pilihanku ini. Sekolah khusus putri! Seperti yang ada di buku-buku Enid Blyton.

Sekolah ini mengajariku banyak hal dan memberi kontribusi besar dalam membentuk opiniku atas jati diriku sebagai perempuan. Perempuan bukan makhluk lemah. Perempuan bisa melakukan banyak hal. Kami dididik menjadi perempuan mandiri, berani mengutarakan pendapat dan pada waktu yang sama juga dibekali keterampilan-keterampilan seperti memasak, mengetik, membatik, dan merajut.

Aku yang 10 tahun lalu
, baru saja lulus dari sebuah universitas yang pelan-pelan mulai diperhitungkan sebagai salah satu universitas dengan program informatika terbaik. Kerusuhan Ketapang menandai wisudaku hari itu. Dengan gelar S.Kom di tangan, aku mulai mencoba menemukan potensi karirku.

Pencarianku membawaku ke sebuah perusahaan IT kecil yang dikelola pasangan expatriate asal Prancis. Hatiku melambung. Dengan gaji yang sangat memadai dan beberapa bos bule, aku merasa diriku keren sekali.

Kantorku adalah sebuah rumah artistik di daerah Kemang. Rumah kecil tapi cantik. Pemiliknya tinggal di Jerman dan meninggalkan anak laki-lakinya yang masih SMA di rumah itu. Dimas, nama anak itu, kadang suka beredar di ruangan kerja kami, kadang sekedar untuk mengobrol atau makan siang bersama. Kasihan juga, mungkin dia kesepian.

Di kantor ini aku bertemu Surya. Lewat Suryani, pacar Surya yang kini sudah jadi istrinya, aku menjadi dekat dengan seorang pria yang kini jadi suamiku.

Dua kali kualami kantor ini pindah kontrakan. Dari rumah mewah dekat Mega Kuningan yang strategis sampai ke Buncit yang macet. Saat masih di Kuningan inilah aku menikah. Di kantor Kuningan ini juga aku dan teman-teman kantor menjadi orang-orang yang mendengar langsung gelegar bom JW Marriot saat sedang santap siang. Sudah kukatakan bahwa kami disediakan makan siang gratis dari perusahaan ini? Seorang koki yang biasa melayani ekspat digaji sejuta sebulan khusus untuk ini.

Diriku 5 tahun lalu
adalah seorang perempuan yang merasa sangat lelah setiap mendengar tangis bayinya yang baru lahir. Kebebasanku, waktuku, selalu menjadi nomor kesekian begitu dia menjerit.

Bukan aku tidak menyayanginya. Aku sangat menyayangi bayi laki-laki kecil yang cute itu. Aku juga mengagumi hidungnya yang mancung, bulu matanya yang panjang juga jemarinya yang mungil. (Beneran nih, dia keluar dari perutku?) Hanya, aku sulit mengerti mengapa dari bibir kecil itu bisa keluar jerit tangis yang sanggup menggoncang ketentraman orang sekampung? Apalagi dia begitu rakus. Sepertinya baru sejam yang lalu aku menyusui dia dan sekarang dia minta lagi? Halo? Bisakah aku YM*-an sebentar? Biar aku puaskan dulu chatting dengan teman kantorku?

Saat masa cuti melahirkanku selesai, bayiku kutinggal di rumah bersama seorang pengasuh yang kubayar rutin gajinya. Terus terang ada rasa lega karena kebebasan sudah di depan mata.

Walau tubuhku belum juga kembali ke ukuran semula, aku tetap semangat karena kini aku tidak lagi di bawah kekuasaan seorang bayi kecil tukang ngompol.

*YM: Yahoo! Messenger

Aku 3 tahun lalu memilih untuk berhenti dari pekerjaan sepenuh waktu dan tinggal di rumah bersama bocah laki-laki lucu kesayanganku.

Jika kaupikir kulakukan itu semua sambil tersenyum-tersenyum gembira, kau salah. Sesungguhnya tidak semudah itu prosesnya.

Aku tidak lagi di kantor ekspat Prancis itu. Aku kini berada di lingkungan yang idealis, sebuah organisasi kemanusiaan yang banyak bekerja untuk menemani masyarakat Indonesia khususnya bagian Timur menyongsong kesejahteraan. Organisasi ini memiliki fokus pelayanan kepada anak-anak, sehingga program apa pun yang mereka buat harus membawa kebaikan untuk si anak.

Aku menyukai organisasi ini. Aku pergi ke pedalaman Kalimantan Barat dan bertemu dengan anak-anak yang harus berjalan kaki berkilo-kilometer tanpa alas kaki untuk menuju sekolahnya atau sekedar mengambil air jauh di sungai, ke pelosok Jakarta Utara dan berbicara langsung dengan anak-anak yang tinggal dalam rumah sempit dengan dihuni beberapa keluarga. Aku terbang ke Sumba Timur yang telah sangat terik pada pukul tujuh pagi, menyaksikan betapa kering dan tandusnya wilayah ini, betapa kurusnya ternak-ternak pada musim kemarau, betapa anak-anak harus berangkat ke sekolah melewati terjalnya dua bukit tinggi dengan hanya berbekal sarapan nasi putih, betapa budaya begitu mengikat dan memiskinkan kehidupan sebagian masyarakatnya, betapa anak-anak menjadi korban atas ketakberdayaan orangtuanya melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Organisasi ini juga mengirimku ke Bangkok untuk menghadiri sebuah konferensi selama seminggu penuh. Bertemu staf-staf dari negara-negara lain di Asia Pasifik, mendengar permasalahan-permasalahan yang terjadi di negara mereka, sungguh menjadi sebuah pengalaman berkesan yang sulit dilupakan. Ini juga untuk pertama kalinya aku dibayari untuk ke luar negeri.

Kenirlabaan organisasi ini juga memberikan suatu spirit kekeluargaan di tengah stafnya. Rasanya seperti berada di keluarga sendiri. Membuatmu merasa diperhatikan. Merasa diterima.

Mereka mengadakan semacam farewell party saat aku pamit. Mereka memberikan kata-kata terakhir dan kenang-kenangan untuk kubawa pulang. Teman Ambonku bernama Valerie, memelukku erat dan berkata dalam uraian air mata, “Hari-hari pertama mungkin elu happy, Dev. Senang karena bisa bersama anak lu. Tapi lihatlah bagaimana setelah setahun berlalu. Gua saranin elu buat catatan. Jurnal hari-hari yang sudah elu lewati. Supaya jika elu merasa bosan, elu ingat lagi akan hari ini, ingat akan alasan mengapa elu memilih berhenti kerja.”

Sulit meninggalkan lingkungan kerja seperti ini. Atasan yang smart dan baik, dia sangat bersahaja dan tidak pernah bossy sedikit pun, mungkin karena dia pernah lama jadi wartawan. Donna, rekan semeja yang kocak, teman bergosip sepanjang hari. Mas Barty seniorku yang sangat relijius dan njawani . Kesempatan bertemu dengan orang dari banyak daerah, banyak negara. Semuanya harus kutinggalkan. Karena aku pernah membuat sebuah janji. Dan janji itu harus ditepati, bukan?

Janjiku adalah jika suamiku mendapat gaji yang setara dengan total gaji kami berdua, itu berarti saatnya aku berhenti bekerja.

Bocah laki-lakiku sudah mulai besar. Dia sangat cerdas. Konsentrasiku di kantor selalu terbelah antara pekerjaan dan dirinya. Walau aku menyukai pekerjaanku, aku mencintai anakku. Aku lebih menyukai anakku. Perasaanku tak karuan saat dia menangis hampir tiap pagi karena tidak ingin berpisah dariku. Hatiku sedih saat ibuku bercerita bahwa jika malam menjelang dan aku belum juga pulang, dia akan bergegas ke pagar dan memanggil-manggil namaku.

Aku ingin bersamanya. Aku telah kehilangan banyak. Aku bukan orang yang pertama melihat dia bisa berjalan. Aku tak ingat kata pertamanya. Aku tidak hadir waktu dia pertama kali makan. Aku bahkan tidak tahu pasti apa yang dia makan hari itu.

Aku pernah menjadi ibu yang lalai. Dan aku ingin menebusnya.

Aku Sekarang
Valerie ada benarnya. Minggu-minggu pertama adalah bulan madu. Kejenuhan segera datang setelah itu. Namun tetap aku tidak mau lagi hidup dibatasi oleh yang namanya jam kerja. Aku juga tak sudi mempersembahkan waktuku kepada dewa kemacetan Jakarta. Aku ingin punya hak penuh mengatur waktuku.

Kunikmati waktu senggangku yang melimpah. Bermain dengan bocahku, nongkrong di toko buku, pergi ke hypermarket, makan di mal, pendeknya aku benar-benar menikmati hidup bersama balitaku.

Tahun-tahun kesengsaraanku menjalani transisi sedikit demi sedikit mulai berlalu. Pesona kenikmatan memiliki waktu berlimpah bagi diri sendiri juga sudah mulai pudar. Aku ternyata menikmati peran baruku. Peran utuh seorang ibu.

Meski, kadang aku mendapat pandangan aneh di keluarga besarku. Sarjana Komputer? Ibu Rumah Tangga? Ngurus anak? Rugi amaaaat. Juga rasa tak enak kepada kedua orangtuaku yang punya cita-cita tinggi buatku, yang telah bersusah payah menyisihkan uang mereka untuk menyekolahkanku ke pulau Jawa. Ah, tidak mudah mengambil pilihan yang tidak populer. Tapi biarkan saja.

Ketika aku hamil lagi, aku sangat menikmatinya. Juga saat melahirkan dan merawat bayi kecilku yang tak berdaya. Aku memang sedikit berkeluh kesah, juga tetap merasa kelelahan di hari-hari awal tapi aku hanya sedikit merasa terpaksa. Bayi perempuanku ini berhasil mendapat ASI ekslusif, bahkan dia masih kususui sampai hari ini.

Walah harus kuakui, dedatangan seorang bayi lagi sedikit banyak telah membuatku sekali lagi kehilangan kebebasanku. Frustasi sempat menguasaiku karena aku begitu terisolasi, harus berada di rumah sepanjang waktu, dan lebih gila lagi aku harus mengurusi seisi rumah dan si balita yang kini berusia empat tahun.

Seorang sahabat memberikan sebuah quote yang begitu indah, “Enjoy every season you are in.” saat aku mengeluh padanya betapa bayi perempuanku ini juga rakus, tak kunjung puas dahaganya akan air susu ibunya.

Juga waktu kuceritakan padanya, betapa aku kehilangan masa-masa aku bisa pergi seenak hati, lagi-lagi sahabatku ini mengingatkan, “Enjoy every season you are in.”

Untunglah bayi perempuan montok ini lahir dengan membawa banyak sukacita dari atas sana. Dia banyak tersenyum, dan senyumnya manis sekali. Kepribadiannya hangat, ramah dan menyenangkan. Sulit untuk menyalahkannya atas kebebasan Mama yang terenggut.

Aku jadi mengingat saat-saat pertama aku menjadi pengasuh utama anak sulungku. Senang campur kesal karena aku harus menerima dirinya yang memang lucu menggemaskan tapi juga sering membuat jengkel.

Juga waktu kami tidak punya pembantu sama sekali padahal aku tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Semuanya berantakan. Piring kotor, baju kotor, baju kering dari jemuran, lantai kotor, debu tebal di sana-sini. Aku mengeluh. Marah pada anakku yang belum bisa membantu, marah pada suamiku yang tidak tergerak membantu. Aku kan bukan pembantu!

Namun semuanya telah berlalu. Aku kini bukan lagi diriku yang dulu.

Aku yang sekarang sudah berubah, walau masih kelabakan mengatur waktu, walau masih harus berkutat dengan pekerjaan rumah tangga pasca berhentinya-pembantu-harian-kami-dan-aku-belum-terpikir-untuk-mencari-penggantinya.* Aku memutuskan untuk tidak kehilangan sukacitaku, tidak kehilangan kegembiraan atas keputusan yang telah kupilih. Keluarga, suami dan anak-anak telah mengajariku untuk berubah menjadi aku yang baru. Waktu-waktu yang telah kulalui bersama mereka sungguh mengubah aku.

*sekarang sudah ada pembantu harian lagi :)

Betapa besar perbedaannya melakukan sesuatu dengan hati pahit dan dengan hati yang penuh ucapan syukur. Padahal tugasku kini bahkan lebih banyak, lebih ruwet. Memang benar ternyata, sikap hati kita sangat menentukan kebahagiaan kita.

Kujalani semuanya dengan gembira, dengan hati penuh syukur.

Betul. Karena waktu yang sudah berlalu tidak pernah kembali. Nikmati hidupmu hari ini, nikmati musim di mana kau sedang berada. Enjoy every season you are in.

21 Oktober 2009

No comments :

Post a Comment