Monday, May 7, 2012

Pembunuhan Pangeran Ali Fahmy

Seorang teman nun jauh di seberang lautan mengirimiku pesan, minta aku membaca cerita ini dan menceritakannya kembali padanya. Alih2 mendongeng untukmu, kuterjemahkan aja sekalian. ;)
Selamat membaca, Mbhit!

London, 1 Juli 1923
Hari masih pagi ketika sebuah limosin masuk ke area Hotel Savoy Court. Penjaga pintu bergegas menolong pasangan suami istri yang turun dari mobil itu, yang dikenal orang-orang sebagai Pangeran dan Putri Fahmy. Sekretaris pribadi sang Pangeran, Said Enani, ikut serta dalam perjalanan itu. Fahmy bukanlah pangeran sungguhan, namun dia tidak berusaha mencegah orang-orang memanggilnya demikian saat sedang tidak berada di Mesir.

Pria Mesir berusia 22 tahun ini bertemu calon istrinya ketika itu, seorang perempuan yang lebih tua sepuluh tahun darinya, di Paris, setahun lalu -- bertepatan dengan penganugerahan kemerdekaan kepada Mesir oleh pemerintahan Inggris. Bagi banyak orang, Marguerite adalah seorang perempuan penggoda mata duitan, yang lebih tertarik pada harta warisannya ketimbang si pria. Mereka menikah di Mesir, secara sipil pada tanggal 26 December yang dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam pada bulan berikut, January 1923. Kala itu Madame Fahmy, berkerudung sederhana, memproklamirkan dalam bahasa Arab bahwa, ‘Hanya ada satu Allah dan Muhamad adalah Rasul-Nya’.

Setelah sekian hari berada di London, yang sedang dilanda gelombang panas ketika itu, Marguerite Fahmy memanggil dokter hotel - karena sakit ambeien parah yang dideritanya. Madame Fahmy mengatakan kepada Dr. Gordon yang merawatnya, bahwa suaminya yang telah 'merobek (anus)nya lewat hubungan intim yang tidak lazim‘ dan selalu 'menganiayanya’ dengan hubungan seks jenis ini. Karea sudah memikirkan rencana untuk bercerai, Madame berulang kali meminta dokter membuatkannya 'surat keterangan resmi akan kondisi fisiknya untuk mengantisipasi jika suaminya nanti menyerangnya dengan tuduhan mengarang cerita.’. Sang dokter, dengan penuh hormat, menolak permintaannya.

Tanggal 9 July, pasangan itu menyambangi Daly’s Theatre di Cranbourne Street,  Leicester Square (kini menjadi lokasi bioskop Vue di West End) untuk menonton pementasan "The Merry Widow", sungguh ironis. Hari itu luar biasa panas, bayangkan saja bagaimana panasnya gedung teater yang saat itu belum diperlengkapi dengan pendingin ruangan (meskipun sampai hari ini masih banyak gedung-gedung di West End yang masih seperti itu). Tentu bukan situasi yang menyenangkan bagi seseorang yang sedang menderita sakit ambeien. Pemain utama di operet terkenal Lehar ini adalah Evelyn Laye (22 tahun) dan idola matinee asal Denmark Carl Brisson.
Daly's Theatre

Pasangan itu kemudian kembali ke Savoy untuk makan malam, namun makan malam itu diwarnai pertengkaran hebat yang sepertinya mulai menjadi kegiatan sehari-hari mereka. Ali bahkan tampil di hadapan orang banyak dengan bekas cakaran di wajahnya, sementara Marguerite juga sempat terlihat dengan lebam-lebam di wajah yang tidak berhasil ditutupi oleh dandanannya. Perselisihan itu begitu panas hingga Marguerite mengacungkan botol anggurnya dan berteriak-teriak dalam bahasa Perancis ‘Diam atau aku pecahkan ini di kepalamu.’ Ali menukas, ‘Coba saja, dan aku akan lakukan yang sama padamu.’ Mereka akhirnya bisa ditenangkan, berkat jasa kepala pelayan, lalu pergi ke ballroom untuk menikmati Savoy Havana Band. Tanpa ragu, grup musik tetap hotel ini pasti memainkan lagu Yes, We Have No Bananas atau mungkin Ain’t We Got Fun yang keduanya adalah lagu terpopuler tahun itu. Tak lama, Marguerite, setelah menolak berdansa dengan suaminya, kembali ke kamarnya.

Said Enani, sebagai saksi di pengadilan beberapa minggu kemudian, mengatakan bahwa Mr Fahmy masih dalam pakaian resmi, menyetop taksi dan pergi ke arah Piccadilly meskipun cuaca yang tadinya sangat panas itu telah berubah menjadi salah satu badai terburuk dalam sejarah. Saat ditanya tujuan kepergiannya ke sana, Ali mengaku tidak tahu. Meski demikian, kita bisa asumsikan bahwa Ali kemungkinan besar pergi ke sana untuk mengunjungi nightclub bawah tanah untuk mencari pekerja seks komersil (entah perempuan, entah pria) yang banyak terdapat di area West End ini.

Sekitar pukul 2.00 pagi, seorang petugas portir hotel lewat muka kamar suite Fahmy dan mendengar suara siulan pelan. Dia melihat Ali Fahmy sedang membungkuk, nampaknya sedang menyiuli anjing kecil peliharaan Marguerite yang membuntuti portir tersebut sepanjang koridor. Kira-kira beberapa meter dari tempat tadi, petugas tadi mendengar bunyi tembakan tiga kali berturut-turut.

Petugas tadi segera bergegas kembali ke kamar Ali. Marguerite di situ, melempar sebuah pistol genggam hitam, sementara Ali terhenyak merosot di dinding, darah mengucur deras dari luka di pelipisnya, tulangnya retak dan otaknya terburai. "Qu’est-ce que j’ai fait, mon cher?" (Apa yang sudah kulakukan, kekasihku?’) Marguerite terus berkata seperti itu, berulang-ulang.

Usia Marshall Hall hampir 65 tahun saat menangani kasus Marguerite dan sangat terkenal. Tingginya 190 cm, tampan untuk usianya, dan wibawanya selalu terpancar di ruang pengadilan. Setelah banyak memenangkan kasus-kasus berat, dia dikenal sebagai ‘The Great Defender’. Pleidoi penutup pembelaannya untuk Marguerite yang di kalangan pers biasa disebut Madame Fahmy, perlahan menjadi sebuah pembunuhan karakter almarhum suaminya. Marshal menggambarkan Fahmy sebagai seorang monster biseks bejat tak bermoral dari Timur. Bahkan secara (tidak terlalu) tersirat, Hall menuduh baik Pangeran Fahmy mau pun sekretaris pribadinya, keduanya adalah homoseks.

Ali Fahmy
Pengunjung sidang kebanyakan terdiri dari perempuan muda, beberapa dari mereka tercatat tak lebih dari delapan belas tahun. Marshall Hall mendongakkan kepala ke arah pengunjung, berkata,  ‘Jika ada perempuan-perempuan di sini yang memilih datang [ke ruang sidang] untuk mendengar kasus ini, kalian tahu konsekuensinya’. Tak satu pun dari mereka yang beranjak. Sementara itu Marshall membalikkan serangan, bahwa Ali adalah penyodomi. Ali Fahmy, kata Hall, ‘telah mengembangkan tendensi abnormal dan tidak pernah memperlakukan Madame secara normal’ meminta mereka untuk mengabaikan fakta bahwa si suami lebih muda dari istrinya. ‘Ya, dia memang baru berumur 23 tahun,’ katanya. ‘Namun dia terbiasa dengan hidup pesta pora dan terobsesi dengan kemampuan seksualitasnya.’ Dia juga mengingatkan para pengunjung bahwa, bagi orang Timur, istri tak lebih dari milik kepunyaan suami, dan bahwa meski semodern dan secanggih apa pun Fahmy, di dalam dirinya dia tetaplah orang Timur.
Marguerite
Saat Marguerite berdiri untuk bersaksi, sang Great Defender memberi arahan untuk menceritakan kehidupannya sebagai seorang istri Muslim. Beberapa pengamat menilai inilah titik ketika kasus dakwaan terhadap Marguerite berbalik arah. Dia bersaksi bahwa saat sedang menanggalkan pakaian, dalam situasi yang bahkan pembantu pribadinya pun dilarang melihatnya, Marguerite mendengar ada suara-suara aneh, dan saat dia menyibak tirai yang menutupi ruang ganti, dilihatnya berjongkok di sana, salah seorang pelayan laki-laki suaminya, buruk rupa, hitam, setengah beradab, yang mematuhi setiap perkataan suaminya tak ubah seperti budak. Marguerite menjerit minta tolong, namun saat suaminya muncul dari kamar sebelah, ia hanya tertawa dan enteng berkata, “Dia itu bukan orang. Dia tidak masuk hitungan. Tapi dia punya hak untuk datang sini kapan saja dan ke mana saja kamu pergi, dan memberi tahu saya apa yang kamu lakukan.”

Memang seperti potongan kisah The Sheik karya Rudolph Valentino, sebuah film yang teramat populer yang dirilis tahun sebelumnya, dan para pengunjung perempuan di ruang sidang pun beranggapan seperti itu.

Sebelum Marshal menutup pleidoinya dengan kesimpulan, hakim mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada pengunjung di balkon, ‘Mengerikan; menjijikkan. Bagaimana mungkin ada orang yang mau mendengar hal-hal ini, padahal tidak wajib mendengarkannya, tidak bisa dimengerti.’ Sebenarnya, hakim sudah terpengaruh omongan Marshall Hall, dan bahkan berkata seperti ini, ‘Di negara ini kita menempatkan perempuan di tempat terhormat; Mesir nampaknya punya pandangan yang berbeda…’

Kurang dari sejam berembuk, juri menyatakan 'tidak bersalah' atas dua tuntutan, pembunuhan terencana dan pembunuhan tidak disengaja, dan Madame Fahmy pun dilepaskan sebagai orang bebas.
Usulan banding ditolak oleh hakim; yang nampaknya sama seperti yang lain, terpesona oleh Sang Great Defender, untuk melakukan pemeriksaan silang terhadap Marguerite untuk menyelidiki apakah dia sendiri memiliki moral terpuji; menyatakan bahwa Madame adalah seorang perempuan terhormat, yang mampu menjaga dirinya sendiri.

Seandainya dia menjalani pemeriksaan silang itu, juri tentu telah menemukan fakta bahwa Marguerite bukan hanya seorang PSK remaja biasa di Bordeaux dan memiliki anak tidak sah, ketika berusia lima belas tahun, namun dia juga adalah seorang PSK kelas atas yang terdidik (kabarnya bahasa Perancisnya agak formal berkat pelatihan membaca puisi yang dia dapatkan). Rupanya bukan hanya suaminya yang punya kecenderungan suka sesama jenis: diketemukan oleh seorang detektif swasta yang direkrut oleh jaksa penuntut, bahwa di Paris, Madame dikenal sebagai orang yang ketagihan atau pernah ketagihan melakukan kegiatan terlarang dengan sesama perempuan dan nampaknya sejak kepindahannya ke Paris, dia tidak lagi melakukannya hal-hal itu karena tidak punya banyak kenalan.” 

Pers internasional melaporkan hal itu dengan kegembiraan yang mencolok, sebagian besar menggambarkan Madame Fahmy sebagai pihak yang lebih tidak bersalah dibanding pihak satu lagi. Koran-koran Perancis mengkhususkan diri pada fakta bahwa juri mempertimbangkan kasus ini sebagai "crime passionnel -- kejahatan akibat nafsu sesaat" yang memang diperbolehkan dalam hukum Inggris.

Setelah putusan itu, Marguerite segera kembali ke Paris, dan mendapati bahwa dia tidak bisa mengklaim bagian atas harta kekayaan suaminya, karena memang Fahmy tidak meninggalkan surat warisan. Setelah gagal melancarkan plot menggelikan dengan berpura-pura hamil, dan lalu melahirkan anak laki-laki (yang pasti akan jadi ahli waris ayahnya), dia kini jadi bahan tertawaan masyarakat Paris dan mulai banyak menyendiri sejak saat itu. Marguerite meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 di Paris. Marguerite tidak pernah menikah lagi.
(Diterjemahkan bebas dari http://www.nickelinthemachine.com/2008/11/the-murder-of-ali-fahmy-at-the-savoy-hotel/)

1 comment :

  1. Terima kasih banyak ya Devi, terjemahannya keren.
    ^_^ peluk peluk

    ReplyDelete