Wednesday, August 7, 2013

Manci dan Si Dekut (Masa Kecil Manci)

Tersebutlah seorang anak laki-laki bernama Manci atau lengkapnya Mancillus Mercatore Magellan von Spearburger.




Manci gempal dan montok. Hobinya yang terutama adalah makan. Di dalam pikirannya hanya makanan, makanan, kudapan, dan kudapan.

"Ayam panggangnya sudah matang, Bu?"
"Ibu! Aku lapar!"
"Kuenya masih ada, Bu?"

Seperti itulah selalu yang terjadi di rumah Manci. Ibunya pun kewalahan tak kuasa membendung nafsu makan anak laki-laki bungsunya.

"Manci. Jangan makanan terus yang ada di pikiranmu. Pergi main sana. Biar agak ringan sedikit badanmu."

Manci merengut. Merajuk. Mulutnya meruncing. Ujung bibirnya tertekuk.
"Tapi aku lapar, Bu."
"Kamu baru saja makan nasi tiga piring. Sekarang Ibu kehabisan beras. Bolehlah kau belikan di warung Baba Rofi. Satu liter saja. Utang dulu katakan padanya. Nanti kalau ayah dan abangmu pulang membawa uang, baru Ibu bayar."

Manci, demi mendengar janji akan makanan, bersorak dalam hati. Segera dia melaju secepat yang dia mampu ke warung Baba Rofi yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumahnya.

Manci berusaha berjalan lebih cepat dari biasa, namun sebentar saja dia sudah terengah-engah. Napasnya pendek-pendek akibat jarang bergerak. Sudah sering dia diejek oleh teman-temannya karena hal itu. Manci tak pernah diajak bermain bola, apalagi lomba lari. Manci si gendut lamban, begitu mereka menamainya. Ketimbang bermain dengan teman-temannya, Manci lebih suka mengurung diri di rumah bersama sepiring besar kentang tumbuk dengan kuah kari kental kesukaannya atau jagung rebus bersaput mentega dari susu kambing. Itulah kerja Manci sehari-hari.

Manci melintas di dekat ladang jagung Pak Ahud. Berhentilah dia sejenak untuk beristirahat. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada suatu makhluk besar berekor kipas yang sedang asyik mematuk jagung. Makhluk itu mungkin sejenis burung, seperti persilangan kalkun dan merak. Tingginya sepinggang Manci, lehernya panjang menjulur seperti roti prancis dengan paruh kuning panjang runcing di ujungnya. Ekor kipasnya yang putih terkembang indah dengan semburat merah muda di tepi-tepinya.

Manci terkunci. Rasa dingin merayapi. Buah beri liar yang dipetiknya tadi terlepas dari genggaman. Dia ragu, langkah apa yang harus diambilnya. Burung besar ini, apakah akan memakannya atau jadi temannya? Manci was-was.

Sementara burung itu, sadar betul akan kehadiran Manci, menghentikan acara makannya. Menoleh pada Manci dengan mata hitamnya besar. Bulu matanya yang lentik terkedip. Kakinya yang panjang bergoyang, memutarkan badannya ke arah Manci.

Manci ciut. Badannya memang besar tapi jiwanya penakut.

Burung hitam itu rupanya tertarik pada makhluk bulat berbaju kuning dengan topi lucunya.
"Jangan mendekat!" teriak Manci.
Burung itu menelengkan kepalanya. Tampak terpesona.
Manci bungkuk meraba-raba apa pun yang bisa diraih di dekat kakinya.
"Jangan berani-berani mendekat!" jeritnya. Jemarinya menemukan pelepah kelapa yang sudah kering, kini sudah terpegang kuat-kuat olehnya.
"Kalau kau dekat-dekat, aku pukul pakai ini!" ancam Manci sambil menjulurkan senjatanya.
Burung itu mendekut tanda tak takut. Bahkan makhluk itu makin rapat mendekat.

"Pergi! Syuuuhhh!"
"Kau takkan bisa mengejarku, Manci."
Manci membeku. Burung itu bicara padanya. Apakah dia makhluk ajaib?
"Kau tak punya teman, kan?"
Gigi anak laki-laki itu bergemertak. Air matanya mengembang. Dia takut. Tapi juga marah.
"Kau pun terlalu tambun, Manci! Kau kepayahan mengejar bola. Temanmu mengejekmu. Tak ada yang mau mengajakmu bermain lagi."
Manci makin marah. Sudah cukup diejek oleh teman-temannya, kini seekor burung ajaib pun ikut-ikutan mengejeknya. Tangannya mengepal. Kesal.
"Kejar aku, Manci gendut!" kata burung itu sambil berjalan pelan menjauh.

Maka, Manci yang tersulut mengejar burung ajaib itu sepanjang siang. Tapi burung itu terlalu cepat, atau Manci yang terlalu lambat.
Manci terengah-engah, hingga tanpa disadarinya, dia kini tiba di warung Baba Rofi. Si Baba keheranan melihat anak laki-laki montok itu bersimbah keringat, padahal hari sedang sejuk.
"Baba lihat burung besar aneh, tidak?"
"Dari tadi tidak lihat apa-apa, Manci."
"Dia pasti lewat sini."
"Tidak ada, Manci."
"Uh! Dia bisa bicara! Dan dia mengejekku," kata Manci kesal menendang tanah.
"Tunggu, kau bilang dia bisa bicara? Apakah dia besar, berbulu ungu kehitaman, ekornya seperti kipas?" tukas Baba Rofi yang disambut anggukan Manci.
"Kau tahu, waktu kecil aku juga gemuk, lebih gemuk darimu," lanjut Baba Rofi yang tubuhnya tidak gemuk tidak kurus. Baba Rofi adalah orang paling rajin berolahraga di kampung Manci.
"Suatu hari aku bertemu makhluk yang kauceritakan itu. Dia menegurku karena terlalu gemuk. Aku memang sangat sulit bergerak. Aku paling takut pelajaran olahraga di sekolah. Teman-teman pun sering mengejekku."
Manci mengangguk, karena kisah Baba Rofi terlalu mirip dengan kisahnya.
"Burung itu memintaku mengejarnya. Karena aku takut dipatuk olehnya, aku patuhi. Lalu dia menghilang. Begitu selalu tiap aku lewat ladang Pak Abu, yang sekarang jadi milik Pak Ahud anaknya. Kau tahu, tanpa aku sadari, aku jadi terbiasa berlari. Aku mulai senang karena badanku jadi lebih ringan. Mulai ada yang mau mengajakku main bola karena aku sudah lebih tahan berlari. Juga, ternyata aku pemain penyerang yang bagus. Kau tahu, dulu setiap ada pertandingan antar kampung, aku selalu main dan banyak menghasilkan gol. Sekarang aku sudah tua, aku tetap berolahraga. Burung itu juga tak pernah muncul lagi. Aku memberinya nama Si Dekut, karena dia suka berdekut."
Manci terpana, "Betulkah itu, Baba?"
"Masih ada kesempatan untukmu, Manci. Jika kau lewat ladang Pak Ahud dan kau bertemu Si Dekut lagi, lari, kejarlah dia. Dia suka dikejar. Mengejarnya kau tak akan merasa lelah."
Manci mengangguk. Dia sebenarnya memang sudah bosan diejek.
"Eh, Manci, kau mau beli sesuatu?"
Manci menyampaikan pesan ibunya. Baba Rofi memberinya beras seliter.
"Katakan pada ibumu, tidak usah dibayar. Ini hadiahku untukmu. Ingatlah untuk kurangi makananmu. Tidak baik makan terus. Kalau tidak nanti Si Dekut akan terus hadir, mengejar dan mematukmu."
Manci tersenyum.
"Dan, Manci. Tolong sampaikan salamku pada Si Dekut kalau kau bertemu dengannya."
Manci tertawa. Dilambaikannya tangan, berjalan lebih cepat menuju rumah. Di ladang Pak Ahud, Si Dekut sudah menunggunya.

1 comment :