Monday, May 13, 2013

[Review] 9 Summers 10 Autumns


[spoiler alert]

Hari ini 12 Mei 2013, saya menginjakkan diri di mal Ciputra lagi.

Tepat 15 tahun lalu, sore hari, saya sedang janjian dengan seorang teman, untuk main di sini, di mal ini. Saya sama sekali tidak tahu bahwa hari ini sedang terjadi sebuah revolusi. Gejolak sedang melanda Jakarta hari itu.
Belum terlalu lama saya menjejakkan kaki di jalan S. Parman, setelah menumpangi B 91, metromini nan tersohor namanya di kalangan pelajar/mahasiswa seputaran Grogol-Kemanggisan (padahal sudah banyak yang diturunkan dengan semena-mena, atau kecopetan, atau jelas-jelas ditodong di atas si oranye ini, namun tidak kapok juga kami menggunakan jasanya, gimana lagi, tidak ada pilihan lain yang lebih pas dengan kantong pelajar); baru saja saya masuk, suasana terasa tak nyaman. Wajah-wajah ketakutan, orang-orang berlarian panik. Saya kira ada bom. Untung saya bisa pulang ke kos di Kemanggisan hari itu. Fiuh.

Baiklah, sudahi dulu mengenang masa lalunya, karena katanya hidup di masa lalu itu tidak baik. Kita bicarakan yang aktual saja, yang baru saya tonton itu.

Selesai menonton filmnya, saya tercenung.

Saya punya buku Bung Iwan ini. Saya sudah baca sampai habis. Walau menurut saya Bung Iwan agak lebay, tetapi ceritanya sendiri menarik. Perjuangan anak miskin dari kota apel Malang, merambah ibukota dan akhirnya mendarat di The Big Apple New York.

Saya juga sudah pernah menonton Bung Iwan di acara Kick Andy. Ada sedikit prasangka waktu itu. Masih sulit buat saya mencerna, mengapa seorang bujangan dengan posisi setinggi Director Internal Client Management Data Analysis and Consulting di perusahaan sebesar Nielsen Consumer Research di kota secanggih New York, mengundurkan diri dan pulang ke kampungnya di Batu sana. Saya masih belum paham walaupun Iwan selalu mengatakan bahwa dia kesepian di situ.

Setelah menonton filmnya, prasangka saya makin menjadi-jadi.

Saya selalu bercita-cita bisa merasakan tinggal dan kalau diberi kesempatan MAU BANGET kerja di luar negeri. Teman-teman saya yang kerja dan tinggal di luar negeri pun tidak sedikit. Alasan kesepian tidak pernah saya dengar jadi alasan untuk pulang. Karena kesepian bisa kita akali, selama kita masih tinggal di tengah manusia. Bukan begitu? Bukankah manusia diberi kemampuan untuk bersosialisasi? Mengingat Iwan sepertinya tidak punya masalah dalam sosialiasi, tentunya dia bisa mencari komunitas yang bisa menerimanya. Tetapi mengapa selama hampir 10 tahun itu dia tidak menemukannya? Cukup aneh buat saya? Apakah Iwan punya masalah pribadi?

Film ini menguatkan prasangka saya, menyisakan sebuah pertanyaan besar.

Film ini dibuat oleh orang lain. Orang yang sudah bertemu dengan Iwan, dan sudah punya penilaian pribadi untuk Iwan. Saya bisa merasakannya lewat casting yang dipilih.

Mengapa Ihsan Tarore?
Ihsan nyaris tidak memperlihatkan sisi maskulinnya di film ini. Cara berjalannya, mimik mukanya, cara tersenyumnya, semua adalah hasil interpretasi seorang pria yang sedang meniru gerakan seorang perempuan. Mengapa begitu?

Saya sering mengamati pria-pria jenis begini, cara jalannya bertitik berat di pinggul, melenggok. Lirikan mata yang biasa saja saat dilakukan perempuan, jika dilakukan oleh seorang pria akan terasa aneh dan mengundang heran.

Well, kalo Ihsan secara alami memang seperti itu (baca: ngondek), apakah casting ini memang disengaja? Ada rasa jengah di hati saya tiap Ihsan tersenyum di film itu. Dia terlalu sering tersenyum! Dan, saya tidak suka melihat senyum tidak naturalnya itu.

Senyum seperti ini maksud saya... ;)

Juga, saat ada cewek yang naksir dirinya, tidak sedikit pun Iwan di film menunjukkan ketertarikan pada mereka. Tidak ada binar-binar galau khas masa remaja, saat dirinya menyadari daya tarik lawan jenisnya. Tak ada.

Juga, berkali-kali Bapak marah karena Iwan yang lebih suka di dapur, lebih suka berkutat dengan buku, ketimbang membantunya mengurusi angkot tuanya. Juga ketika Iwan cengeng, ingin ditemani Ibuk di hari pertama sekolahnya. "Kon iku arek lanang!" Beberapa kali hal ini dikatakan oleh Bapak, seakan-akan sedang menggarisbawahi sesuatu.

Apa yang sebenarnya hendak disampaikan, mengingat Bung Iwan terlibat penuh dalam pembuatan film ini? Apakah benar dugaan saya, Bung? Maafkan kalau saya ternyata salah.

Filmnya sendiri, secara visual memang indah. Enak dilihat, sangat artistik. Kota Batu juga terlihat cantik, jadi pengen ke sana. Propertinya luar biasa. Entah dari mana mereka mendapatkan barang-barang lawas yang masih bagus seperti itu. Juga adegan di bandara JFK, keren banget JFK bisa dikosongkan untuk pembuatan film ini. Top lah kerja para crew.

Para aktor, Alex Komang edan! Benar-benar aktor kawakan. Saya hampir percaya kalau dia itu supir angkot. Saya hampir yakin dia pria kasar supir truk yang mengangkut barang ilegal, dan harus masuk  penjara lebih dari sekali. Dewi Irawan pun keren abis aktingnya. Pas sekali. Ibuk sekali. Ria Irawan yang hadir sebagai kejutan juga asli memesona sekali. Para aktor kawakan tak sedikit pun mengecewakan saya. Hebat!

Secara jalan cerita, sayangnya ga terlalu kuat. Perjuangan Iwan tidak ditunjukkan di film ini. Sekali lagi Ihsan Tarore terlalu banyak mengumbar senyumnya yang feminin itu. Kesepian yang mendera Iwan Setyawan pun tak terlalu diekspos, jika itu penyebab utama dia mengundurkan diri.

Secara keseluruhan, film ini okelah untuk dinikmati. Tapi, jangan terlalu berharap untuk menemukan sebuah motivasi memecut diri agar bisa mencapai keberhasilan seorang Iwan Setyawan. Lebih baik baca bukunya kalau itu.

2 comments :

  1. Aku kok nggak bisa bedain senyum yang natural dan nggak :-D :-D

    ReplyDelete
    Replies
    1. kau kudu belajar sama aku... *hohoho *jumawa

      Delete