Bekerja pada sebuah NGO/LSM yang sangat bergantung pada komitmen para
donor dan donatur, saya menemukan satu hal yang unik. Coba dengarkan
cerita saya di bawah ini.
World Vision Indonesia membiayai sekitar 29 ADP (Area Development
Program). Dari 29 ADP yang tersebar di seluruh Nusantara, ada 3 ADP
yang didanai dari dalam, dari orang Indonesia sendiri. 3 ADP itu ada di
Singkawang- KalBar, 2 lagi di Papua. Sistem donasi ada 2 macam, rutin
dan tidak rutin. Kami menyebut sponsor rutin sebagai penyantun. Seorang
penyantun memberikan donasi dalam jumlah tetap perbulannya untuk setiap
anak yang dia santuni.
Thanks God saya berkesempatan mengunjungi ADP Singkawang yang dapat nilai terbagus untuk kategori ADP dana lokal.
Yang pertama saya lihat adalah rumah permanen yang sudah bocor sana
sini kalau hujan, kamar mandi seadanya. Juga satu mobil operasional
berupa TAFT tua yang pintu belakangnya terbuka tiap kali mengalami
benturan, padahal jelas medan di sana adalah tanah berbatu-batu..
setiap 3 menit saya dan teman-teman perempuan yang duduk di bagian
belakang bergantian menutup pintu tersebut.
Pertemuan saya dengan anak-anak dan masyarakat yang kami layani juga
menyedihkan hati saya. Tentu organisasi kami berusaha membantu sekuat
kemampuan kami, tetapi memang dana tidak banyak tersedia, dan ADP
Singkawang menganut azas pembangunan itu adalah untuk semua. Jadi,
disantuni atau tidak disantuni, sang anak tetap dapat menikmati
pembangunan, walau tentu ada perlakuan lebih khusus untuk anak yang
disantuni... tentu saja.. kami harus bertanggung jawab pada para
sponsor.
Sementara itu, di ADP Urban Surabaya yang didanai dari negara asing
(sorry saya lupa negara mana), keadaannya jauh bertolak belakang. Tidak
seperti anak2 di Singkawang, anak2 Urban Surabaya mendapat bantuan uang
sekolah dan keperluan2 sekolah lainnya. Dibanding kantor ADP
Singkawang, kantor ADP Surabaya pun terasa seperti istana. Belum lagi
kantor kami di Banda Aceh yang didanai oleh seluruh penjuru dunia.
Saya lalu bertanya pada bagian pengelola dana lokal kami, mengapa
keadaannya begitu jauh berbeda. Jawaban mereka, memang dana lokal seret
dan catatan mereka memang menunjukkan komitmen orang Indonesia masih
rendah, beda dengan sponsor dari luar negeri terutama Eropa yang dapat
komit memberi dari anak masih belum sekolah bahkan sampai kuliah.
Seringkali anak2 yang disponsori itu putus di tengah jalan karena sang
sponsor tidak meneruskan donasinya karena berbagai alasan.
Kenyataan ini menyedihkan hati saya. Bagaimana mungkin bangsa ini sulit
berkomitmen menolong bangsanya sendiri? Bagaimana mungkin bangsa yang
dikenal gemar menolong sesama --seperti yang saya baca di buku PMP
saya-- tidak mau merepotkan diri untuk memberikan bantuannya secara
rutin?
Saya menghibur diri, mungkin orang2 asing itu bisa rutin memberi karena
banyak kemudahan. Autodebet, misalnya. Sampai hari ini BCA belum mau
diajak kerjasama autodebet.
Mungkin suatu hari nanti akan ada banyak perubahan. Wajah bangsa ini pasti akan berubah.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Our sponsors
Labels
9S10A
(
1
)
Family
(
2
)
Fred Rogers
(
1
)
MFW
(
3
)
SAHM
(
1
)
activities
(
5
)
art
(
3
)
asisten oh asisten
(
1
)
bible
(
2
)
compost art
(
4
)
dear hubby
(
2
)
devotion
(
1
)
digiscrap
(
1
)
fiksi
(
9
)
fiksiku
(
2
)
film
(
1
)
freebie
(
6
)
home-ed
(
3
)
hubby
(
2
)
humaniora
(
3
)
inspiration
(
2
)
inspiring person
(
2
)
introduction
(
3
)
kids
(
6
)
mancillus
(
6
)
mom
(
4
)
outdoor
(
1
)
personal growth
(
2
)
photoshop
(
1
)
poem
(
1
)
resep
(
6
)
review
(
1
)
tahun pertama
(
3
)
thought
(
5
)
translation
(
1
)
tutorial
(
1
)
underthesun
(
2
)
waste
(
4
)
Popular Posts
-
Namanya Terry. Perawakannya yang mungil memudahkannya gesit berlari ke sana- ke sini. Awalnya saya tertipu dengan wajahnya yang ke”bule-bule...
-
Gako gagak berbulu hitam legam. Matanya hitam, paruhnya hitam, cakarnya hitam. Suaranya pun besar dan sumbang. Semua padanya terasa seram. ...
-
Bekerja pada sebuah NGO/LSM yang sangat bergantung pada komitmen para donor dan donatur, saya menemukan satu hal yang unik. Coba dengarkan c...
-
Kejadian: awal April 2007. Karena Desember ga mungkin mudik, kita pun paskahan di Salatiga. Pas ke Yogya, aku yang lagi flu cukup berat dema...
-
Setelah kursus bahasa Inggris yang tidak terlalu sukses , Manci memutuskan untuk belajar bertukang. Dalam hatinya memang masih tersimpan ger...
-
Danau eks tambang, Belinyu Bangka is a small island near Sumatra, sits below the equator. The weather and climate is hot and humid. Rocky wh...
-
Dua tahun ga pulang ke rumah ortuku, long weekend Agustus kali ditambah cuti beberapa hari, aku manfaatkan untuk menjenguk Belinyu, kota kec...
-
[peringatan: posting ini panjang dan berbau curhat] :p Saya ini sangat suka menelusuri masalah-masalah yang timbul akibat proses translite...
-
I was so emotionally attached to Vivi, our compact sedan. Tiada hari tanpa Vivi, begitulah. Apalagi sejak tinggal di Gading Serpong, saya ya...
Blog Archive
Powered by Blogger.
Dev, adek gua di World Vision jg, tapi yang di Meulaboh .. hehehe
ReplyDeleteMereka di meulaboh memang mengalami kesulitan, terutama karena masalah birokrasi, heheh ..
lagu lama, mau nolong kok dipersulit ya :)
Gimana kalo di lihat dari sisi lain Dev? Hidup di Indonesia pun gak mudah. Donatur commit untuk menyisihkan x% dari pendapatannya tapi di tengah jalan, karena tuntutan hidup, harus putus (masa nyekolahin orang lain sebelum anak sendiri, misalnya?). IMHO, langsung mem'vonis' Orang Indonesia tidak commit memberi, agak terlalu menggampangkan masalah sih :D
ReplyDeleteiya... judulnya provokatif banget hehehe... mungkin lebih asik klo akhir tulisannya berupa beberapa saran dan solusi bagaimana kita semua bisa konsisten memberi... tips-tips geto, dsb... Kondisi Indonesia jelas beda dengan Eropa, jadi memang itu adalah pergumulan kita semua...
ReplyDeleteDevi, thanks untuk ceritanya yang bagus. Saya mau komentar sehubungan dengan "memberi", "komit memberi" (maaf agak panjang...)
ReplyDeleteIMO judul yang dipilih terdengar agak provokatif, karena menyamaratakan semua orang Indonesia. NGO yang disebut kan cuma satu dari sekian banyak yang lainnya. kalo orang Indonesia komit ke NGO yang satu, kemungkinan besar dia nggak komit ke yang lainnya, pada wkt yang bersamaan.
Topik "memberi" memang selalu hot, apalagi kalo kita ditantang untuk sungguh-sungguh tanpa pamrih, yaitu tanpa mengharapkan balasan. Saya setuju penggunaan kata "komit" di sini, karena ada perbedaan antara "memberi" dan "komit memberi". Kadang-kadang (tanpa menghakimi orang lain) orang memberi karena ingin menerima sesuatu kembali. Ketika memberi Rp. 1000 ke gelandangan di pinggir jalan, mungkin ada (atau banyak?) yang bukan murni memberi (tanpa pamrih), namun membeli rasa lega, conscience yang bersih... Murah kan, perasaan lega yang menepuk pundak kita hanya seharga Rp. 1000? Saya nggak tau orang lain, tapi kadang-kadang saya menangkapbasah diri sendiri dalam hal ini.
Nah kalo bicara soal komitmen, misalnya dlm "komit memberi", IMO level nya lain. orang yang memiliki komitmen (janji) adalah orang yang tanpa pamrih, seperti covenant yang dibuat di hari pernikahan laki perempuan yang saling cinta. melalui susah dan senang, selalu sama-sama, sampai kematian memisahkan. "Memberi", "Bersahabat" dll pun didefinisikan dlm level komitmen yang diharapkan dan komitmen yang dibuat. Banyak orang yang memilih untuk tidak membuat komitmen, apapun alasannya. Balik ke sistim donasi dari NGO yang kamu maksud, mungkin bisa coba dilihat apa yang menyebabkan
- jumlah donatur sedikit, berkurang dan/atau
- aliran dana sifatnya loose alias tanpa komitmen
Dengan tanpa mengenal World Vision lebih lanjut, saya coba share apa yang sudah saya amati selama 15 thn lebih di jerman sehubungan dengan
"... beda dengan sponsor dari luar negeri terutama Eropa yang dapat komit memberi dari anak masih belum sekolah bahkan sampai kuliah. Seringkali anak2 yang disponsori itu putus di tengah jalan karena sang sponsor tidak meneruskan donasinya karena berbagai alasan.";
Ada banyak NGO yang mempromosikan program-program sponsor begitu, dan himbauannya juga adalah komitmen yang berbunyi seperti "Donate 1 Euro per month" (dengan gambar anak kecil, sekolah, makanan dan minuman). Tapi sampe sekarang saya belum liat ada NGO yang melakukan komunikasi yang baik. Setelah kita komit bayar 1 Euro per month, 10 Euro per month, 20 Euro per month atau lebih, ya sudah, kita taunya cuma uangnya ditarik dari account kita secara teratur. Sesekali dikirim selebaran yg menginformasikan pekerjaan NGO secara umum, yang nggak ada hubungannya dgn sistim donasi di mana saya terlibat sbg donatur.
Jujur saja, saya termasuk org yg pernah ikut sebuah program adopsi anak yg diorganisir oleh sebuah indonesian NGO, lalu setelah beberapa tahun nggak pernah dpt feedback / any form of communication, saya hentikan. Cuma awalnya saja dikasih nama-nama, foto anak-anak yang di laminate bagus, tapi setelah itu nggak pernah ada komunikasi (walau saya tagih). Nah, hal-hal spt ini IMO masih bisa di-improve di pihak sang NGO dan nggak harus selalu "orang Indonesia" nya yang lacking virtues. speaking of which, menurut pengalaman saya malah wong bule banyak yang lebih tak mau berkomitmen :D
Mungkin kita terlalu paham dengan keadaan Indonesia, tentang berapa banyak Yayasan, yang mengatasnamakan kemanusiaan, mengumpulkan dana, tanpa ada laporan yang jelas. Entah duitnya masuk ke kantong sendiri, atau entah kemana.
ReplyDeleteTanpa bermaksud menyamaratakan semua NGO & LSM, saya rasa wajar kalo donatur lebih bersikap hati-hati, memilih kepada siapa untuk memberikan sumbangannya. Some people say, kalo udah ngasih duit buat nyumbang, ya sudah... terserah ke yang dikasih sumbangan. Tapi akan lebih baik kalau kalo kita bener-bener memastikan kalo sumbangan kita itu gak masuk ke kantong yang salah?
provokatif ya.. hehehe... makanya dikasih tanda tanya..
ReplyDeletegw cuma bertanya aja kenapa sponsor yang dari Indonesia relatif tidak sekomit yang dari Eropa. kalau menurut teman gw yg ngurus dana lokal, sebagian besar pendonor berhenti di tengah jalan karena lupa. sekali lupa tertunggaklah untuk bbrp bulan dan 100.000 x bbrp bulan itu jadi berasa, dan akhirnya mereka milih berenti.
dan pihak bank sendiri (ie BCA) blom mau diajak kerja sama untuk autodebet.. alasannya, kan kami sudah ada internet banking.
jd... gw ga tau.. ini karena masalah ga mau repot atau karena fasilitas yang terbatas.
Iya Jo, NGO2 emang harus banyak memperbaiki diri, dalam hal relation dengan sponsornya. Saya juga pasti akan menarik dana jika uang yang saya kasih ga jelas lari ke mana.
ReplyDeleteYg komit tuh biasanya dah oma-opa sih Jo :) Apa karena faktor usia itu ya?
Iya Ven, hidup di Indonesia emang ga mudah. Sorry kalo gw terkesan sinis. Itu karena gw dah pergi ke Singkawang dan gw melihat betapa beda santunan yang diterima oleh anak2 yang disantuni oleh bangsanya sendiri dengan yang disantuni dari luar negeri. Tapi emang ga adil ya perbandingannya.
ReplyDeleteHehehe, kan ini blog elo, pendapat elo dan kita juga cuma sharing2 masukan pribadi kok :D. Cuma emang itu, gue setuju sama elo. IMHO, perbandingannya mungkin terlalu disederhanakan. Gue ngebayangin, misalnya gue ikut program ini. Tiap bln, Rp 7,500 (CHF 1 equivalent) di debet. Rp. 7,500, walaupun gak banyak2 amat, bisa beli nasi uduk, sepotong kue, 1 liter bensin, etc. Sementara CHF 1 disini kagak kebeli apa2 (boro2 beli makanan di luar, pasta sebungkus aja lebih dari CHF 1). Untuk gue, gue akan lebih mau di debet CHF 1 daripada Rp. 7,500 karena alasan di atas.
ReplyDeleteJadi, ehem, apa ya istilah ekonominya (lupa), value of money mungkin? beda di tiap negara, terlebih antara negara maju dan berkembang. IMHO lagi, untuk melihat apakah orang Indonesia lebih tidak commit, mungkin lebih complex dari yang terlihat di mata.
Thanks Dev buat share cerita nya..dengan membaca cerita lo ini gue jadi berpikir..
ReplyDeleteKenyataan ini menyedihkan hati saya. Bagaimana mungkin bangsa ini sulit berkomitmen menolong bangsanya sendiri?
Gue adalah bagian dari bangsa ini, sebelom gue menyalahkan bagsa ini, gue jadi bertanya2 ke diri gue sendiri ?? apakah gue udah menjadi orang yang mempunyai komitmen untuk menolong sesama ??