Wednesday, February 17, 2010

(Sudah) Tidak Mengantor Lagi

Akhir 2006
Lima bulan sebelumnya..

“Hei,” suara Hubby di ujung sana.

“Hei..” memang begitu cara kami saling menyapa di telepon.

“Aku ketemu Abi nih. Dia nawarin kerjaan.”

“Jadi apa?” Abi adalah seorang bankir, mungkin ada lowongan IT di bank-nya.

Ternyata bukan. Hubby tidak sedang ditawari posisi IT di kantor Abi. Hubby sedang ditawari posisi e-channel manager di bank tempat Abi bekerja. Padahal riwayat pekerjaan Hubby adalah seratus persen berbau IT. Bahkan dia digelari IT nerd oleh seorang rekan kerjanya. Dia juga sering jadi tempat bertanya orang-orang tentang IT, dari keamanan jaringan sampai masalah sesepele rekomendasi spesifikasi komputer untuk dibeli.



Hubby menerima tawaran itu dan hidup kami berubah drastis sejak saat itu. Atau hidupku, untuk lebih spesifiknya.

Aku berhenti bekerja. Aku, seorang perempuan yang telah menikmati sejumlah uang yang tak pernah absen dikreditkan ke rekeningku tiap bulan selama tujuh tahun, harus merelakan keindahan satu ini pergi dari hidupku. Aku harus melepaskan status karyawanku dan menukarnya dengan profesi baru: ibu yang tinggal di rumah.

Aku dan Hubby menikah tiga tahun lalu dan proyek pertama kami adalah seorang bocah laki-laki lucu berusia dua tahun, Joel. Joel yang selalu membuat konsentrasiku bekerja terbelah sejak kehadirannya. Joel yang wajahnya menghiasi meja kerja dan wallpaper laptop dan ponselku. J yang selalu merindukanku tiap sore menjelang dan menunggu di balik pintu sambil memanggil-manggil namaku jika aku belum juga muncul.
Ah, jadi ibu yang karyawan itu sungguh tidak mudah.

Dua bulan sebelumnya..

“Sudah bilang Pak Hendro?”

Pertanyaan Hubby membuatku yang sedang terkantuk-kantuk di dalam mobil kami yang nyaman jadi tergeragap.

“Ng…”

“Belum, kan?”

Ya belumlah, Hun. Kau pikir mudah melakukan hal ini? Tujuh tahun, Hun. Tujuh tahun.

“Kapan mau ngomong?”

“Boleh ga sih tunggu sampai April?”

“Kelamaan.”

April ini harusnya aku genap bekerja dua tahun di Wacana Veritas, namun urung dua tahun itu kesampaian, sebab aku harus berhenti secepatnya atau terpaksa bangun pagi-pagi untuk menempuh jalanan Tangerang-Jakarta yang selalu macet di pagi hari.

Maka, tentu aku harus menemui Pak Hendro hari ini. Tak ada jalan lain.

Hari Ini

Pak Hendro tak bisa hadir di hari perpisahanku, tapi beliau sempatkan diri menelponku dari Aceh. Sedih sekali rasanya mendengar wejangannya di hari terakhirku ini.

Ada sebuah acara perpisahan kecil di ruangan kerjaku. Sebuah ruangan berbentuk setengah oval, yang belum lama direnovasi, belum juga setahun kutempati. Teman-temanku yang luar biasa baik memberiku hadiah, kata-kata penguatan, ah, mereka memang orang-orang berhati emas.

Valerie, teman Ambonku, memelukku seraya memberikan kata-kata yang sangat menginspirasiku sampai hari ini, kira-kira seperti ini,
"Dev, pertama elu pasti merasa seneng karena bisa deket anak lu terus-terusan. Tapi coba, beberapa bulan, atau setahun, masih ga elu merasa excited. Coba elu bikin sebuah jurnal, elu tulis pengalaman elu dari hari ke hari. Supaya jika tinggal di rumah sudah tidak terasa menyenangkan, elu baca lagi jurnal-jurnal awal elu. Biar elu inget lagi, apa yang mendorong elu untuk berhenti kerja." *Thanks so much, Lely!

Hari itu aku tinggal sampai malam di kantor. Hatiku masih berat meninggalkan status sebagai seorang staf lembaga kemanusiaan internasional. Tapi aku tetap harus pulang.

Pulang ke rumah.

No comments :

Post a Comment