Ia mengangkat masalah keharusan seorang ibu menjadi ibu rumah tangga. Mengapa ibu harus menjadi ibu rumah tangga jika ia ingin jadi wanita/perempuan karir? Ibu kan punya hak, dan dia tidak harus menjadi ibu rumah tangga, bukan? Pilihan ibu untuk menjadi seorang pekerja harus dihargai dan didukung. Sebaliknya jika ibu ingin jadi ibu rumah tangga, harus dihargai juga, karena itu adalah pilihan yang mereka buat.
Adalah buku The Feminine Mystique (1963) karya seorang Betty Friedan yang ia kutip. Friedan ‘menemukan’ bahwa pada jamannya banyak perempuan yang menderita gangguan mental karena DIHARUSKAN menjadi Ibu Rumah Tangga.

Saya tidak tahu apa yang dialami para ibu di tahun 60-an, tapi setahu saya tulisan ini tidak begitu relevan dengan masa ini. Untuk konteks jaman ini, tulisan Friedan ini terlalu menghakimi dan tidak mewakili aspirasi semua perempuan khususnya yang memiliki anak.
Sayangnya, si penulis lebih banyak mengangkat kasus tentang keharusan seorang ibu menjadi ibu rumah tangga. Jelas terlihat usahanya untuk memperjuangkan hak ibu untuk bekerja dan tidak semata-mata menjadi ibu rumah tangga. Ibu yang ingin jadi pekerja harus didukung, ibu tidak boleh dipaksa atau diharuskan jadi ibu rumah tangga. Kira-kira begitu inti tulisan ini.
Pendapat saya pribadi, jika seorang ibu memilih menjadi pekerja, so be it, lakukanlah. Buatlah kami, kaum ibu, bangga padamu. Jika suami memaksa atau mengharuskan jadi ibu rumah tangga, ya bicarakanlah. Karena suami istri adalah partner bagi pasangannya, maka keputusan apa pun harus diambil atas dasar kesepakatan.
Namun, bagaimana kalau yang terjadi adalah sebaliknya. Ibu sangat ingin menjadi ibu rumah tangga namun dia diharuskan bekerja, karena gajinya sangat dibutuhkan, gaji suaminya saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya? Bagaimana jika ibu DIHARUSKAN bekerja? Mungkinkah dia juga akan mengalami gangguan mental? :) Bukankah akhirnya itu menjadi sebuah keharusan juga? Tak lagi menjadi sebuah pilihan baginya.
Seorang teman SMA berkali-kali mengeluh karena ingin berada di rumah bersama anak-anaknya, namun selalu dilarang suaminya yang merasa belum mantap dengan bisnis yang ia jalani. Teman saya ini sampai merasa sangat terpaksa setiap berangkat kerja, tapi apa daya begitulah kenyataan yang harus ia jalani. Mereka butuh pemasukan tetap, lagipula teman saya ini punya karir yang bagus di sebuah bank internasional.
Beberapa teman di milis yang saya ikuti juga curhat tentang kerinduan mereka untuk berada di rumah, untuk bisa mengupayakan rumah yang nyaman bagi anak-anak dan suami yang dicintainya. Mereka mengeluh karena sangat ingin bisa tinggal di rumah sedangkan kondisi finansial tidak mendukung, mereka bahkan menyatakan ‘kecemburuannya’ kepada baby sitter, pembantu dan kepada temannya yang sudah lebih dulu menjadi what-so-called ibu rumah tangga.
Sementara, beberapa ibu yang dulunya berkarir di luar rumah sharing tentang bagaimana mereka meninggalkan pekerjaan di kantor untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, agar dekat dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka malah menciptakan bisnis yang dijalankan dari rumah.
Kenal secara pribadi dengan tiga orang ibu tetangga rumah, saya temukan mereka secara pribadi mendapatkan kebahagiaannya karena bisa dekat dengan anak, dua di antara mereka pernah berkarir di luar rumah. Salah seorang di antara mereka, setelah memiliki tiga anak, semakin menikmati perannya dan walau merasa sempat ‘terpaksa’ harus belajar masak, kini dia sudah piawai masak dan puas melihat anaknya menyukai masakannya.
Saya tidak mengerti dengan tulisan Friedan yang terang-terang mengatakan jika seorang ibu tinggal di rumah, lantas ia disebut terkungkung, tidak bisa mendapat kepuasan diri dari berkarier dan hidup untuk kebahagiaan orang lain.
Memangnya ada yang salah jika kita hidup untuk orang lain? Bukankah begitu banyak orang (atau pekerja sosial) yang menemukan kepuasan batinnya karena hidup dan bekerja untuk kebahagiaan orang lain? Apalagi jika pilihan menjadi ibu rumah tangga ini diambil untuk kebahagiaan keluarga, untuk anaknya.
Seorang ibu, bukan secara kebetulan adalah pihak yang mengalami kehamilan, mengalami hubungan misterius dengan janin yang tak bisa bicara tapi bisa merespon balik, yang harus melahirkan (dan mungkin memilih untuk menyusui) anak yang telah dikandungnya. Ini adalah sebuah pengalaman yang tidak akan pernah dialami oleh laki-laki, dan ini jugalah yang saya duga membuat seorang ibu seakan-akan punya kontak batin dengan anaknya.
Lalu, apakah menjadi ibu rumah tangga untuk memastikan anaknya terurus, terdidik dengan baik adalah sebuah kebodohan?
Memang di beberapa belahan dunia masih ada kasus ekstrim diskriminasi hak perempuan yang mengatasnamakan martabat pria, namun menurut saya ini tidak bisa disamaratakan begitu saja kepada semua perempuan di muka bumi ini.
Di jaman materialisme ini, ketika segala sesuatu diukur dengan uang, pria mungkin lebih senang jika istri punya penghasilan sendiri dan turut berkontribusi dalam keuangan keluarga. Namun ketika anak yang tidak pernah minta dilahirkan itu hadir bersama segala konsekuensinya, masalah-masalah mulai muncul.
Sepasang orangtua bekerja di luar rumah mendatangkan sebuah konsekuensi, harus ada pengganti fungsi mereka dalam merawat dan mendidik anak saat mereka tidak di rumah. Si pengganti ini (baby sitter/pembantu) kerap juga menciptakan masalah baru dan membuat majikannya lintang pukang ketambahan persoalan.
Saya memang memilih menjadi ibu yang tinggal di rumah, dan saya sangat menikmati peran saya ini. Kepuasan yang saya dapat dalam tiga tahun tahun terakhir ini melampaui kepuasan yang saya peroleh dari ‘ngantor’ selama tujuh tahun.
Namun pilihan ini saya buat karena saya merasa harus. Jadi keharusan yang membuat saya memilih.
Menatap wajah anak laki-laki saya berusia tiga tahun saat itu, saya merasa harus memilih untuk mendampinginya. Saat berhitung berapa waktu yang telah dan akan dia lalui tanpa saya dan saya tanpa dia, saya merasakan sebuah keharusan untuk mengambil sebuah tanggung jawab. Dia tidak pernah minta dilahirkan. Mengapa saya begitu egois mengejar kepuasan diri dan membiarkan dia dalam asuhan orang lain padahal secara finansial kami bisa melakukan penyesuaian?
Saya telah memilih dan merasa telah mengambil pilihan terbaik walau masa adaptasi terasa begitu panjang dan sulit. Bukankah memang begitu saat kita berada di tempat baru, apalagi jika ada perubahan radikal seperti ini.
Saya tidak anti dengan feminisme. Saya setuju dengan beberapa prinsipnya. Namun saya ingin perjuangan feminisme lebih mewakili perempuan dalam keunikannya. Perempuan itu, berbeda dari laki-laki, mengapa meminta untuk diperlakukan sama dalam segala hal?
Lebih baik memperjuangkan hak agar diperlakukan sesuai keunikannya. Jika perempuan ingin diperlakukan sama persis dengan laki-laki, di mana keunikan perempuan. Apa bedanya laki-laki dan perempuan kalau begitu? Jika salah satu gender dianggap lebih unggul, artinya gender lain kalah unggul. Betul? Bukan itu kan tujuan perjuangan kita?
Jika memperjuangkan agar perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam karir, perjuangkanlah juga hak ibu pekerja ini agar bisa menyusui bayinya secara eksklusif. Jika perempuan tidak boleh dipaksa atau DIHARUSKAN menjadi ibu rumah tangga, pikirkanlah juga para ibu yang ingin berada di rumah ini, yang suaminya tidak mendukkung atau kondisi finansial tidak mendukung. Ide muluk saya adalah melakukan advokasi agar pemerintah bisa memberikan insentif atau tunjangan khusus buat ibu yang ingin sekali mendampingi anaknya sepenuhnya sementara kondisi keuangan tidak mengijinkan. Mimpi besar tentunya. :)
Jadi, Ibu, mari pilih yang terbaik buat kita.
No comments :
Post a Comment