Monday, February 22, 2010

Officially Incomeless

Waktu menulis artikel ini, tiba-tiba terngiang-ngiang lagu Uang-nya Nicky Astria yang saya dengar waktu masih SD/SMP dulu (ga inget). Hehehe.. ketauan yah dah tuwir. :)

Salah satu yang ga enak menjadi ibu stay@home adalah... tidak menghasilkan uang lagi, baik untuk dirinya sendiri apalagi keluarga. Dia yang tadinya selalu punya uang untuk dirinya sendiri, dan merasa bangga karena uang itu dia hasilkan sendiri, kini harus menunggu suami gajian.

Waktu awal-awal berhenti bekerja di luar rumah, aku masih ambil pekerjaan part-time pada sebuah organisasi milik gereja, yang olehnya saya mendapat persembahan (baca: gaji) rutin. Tidak besar, namun cukup berarti buat seorang perempuan yang selama lebih dari tujuh tahun selalu punya uang sendiri dan mengaturnya sesuka hati. Aku juga masih sempat mengerjakan proyek-proyek freelance untuk desain, layout buku, bahkan menerjemahkan buku.
Kini, dengan dua anak, I'm officially income-less. Tidak ada lagi yang menggajiku. Dan, ada rasa kehilangan yang amat sangat sejak saat itu. Rekening kosong yang akhirnya mati sendiri karena tidak lagi ada yang mengisi. Kartu ATM yang nganggur percuma di dompet. Bahkan salah satu bukti kejayaan masa mudaku (lebay deh), kartu kredit pertamaku yang dibuat tahun 2000, baru saja ku-drop. Kartu kreditku sekarang semuanya adalah kartu tambahan dari kartu kredit Hubby. Menyedihkan.

Kau tahu, itu semua terasa menyakitkan kalau dipikir-pikir. Saat ini aku tergantung sepenuhnya pada Hubby. Lebih parah lagi, sejak punya anak ke-2, tanpa asisten menginap, dan Hubby bekerja jauh dari rumah, tidak ada lagi mobil nangkring di garasi pada hari kerja. Itu artinya, jika aku butuh uang cash, aku harus minta Hubby ambilkan dan baru saat dia pulang dari kantor, uang itu tersedia.

Lalu, jika aku ada kesempatan keluar rumah, misalnya karena kebetulan ada yang mengajak pergi, aku harus perhitungkan berapa cash yang tersedia. Padahal Hubby meninggalkan kartu ATM-nya di rumah, juga token PIN untuk internet banking, tapi tetap saja rasanya aneh menarik uang dari situ, rasanya tidak nyaman. Juga, jika aku ingin belanja menggunakan kartu kredit, aku harus tanya dulu pada Hubby, kartu mana yang bisa kupakai, karena aku tidak tahu pasti berapa limit yang tersedia.

Ini semua karena aku tidak lagi mengatur keuangan keluarga. Semuanya Hubby yang atur. Aku hanya membuat anggaran petty cash yang dibutuhkan untuk dana operasional dan Hubby menyediakannya. Sementara keuangan keluarga secara keseluruhan Hubby yang atur. Karena aku merasa tak sanggup mengaturnya. Aku pusing dengan setiap detilnya. Lagipula, sampai hari ini aku belum-belum benar merasa nyaman membelanjakan uang yang dihasilkan oleh jerih lelah suamiku.


Mertua perempuanku sudah pernah mengingatkanku akan hal ini. Beliau yang sewaktu masih lajang bekerja sebagai perawat dan menjadi ibu yang sepenuhnya tinggal di rumah mengasuh keempat anak laki-lakinya, berpesan, "Kalau kita berhenti bekerja, kita tidak punya uang. Harus minta dari suami. Ga gampang, lho."


Memang tidak gampang. Aku masih agak sungkan membelanjakan gaji suamiku untuk membeli pakaian, dan kebutuhan-kebutuhanku yang lain. Aku merasa sedang memboroskan uang kami. Jika dulu aku bisa beli baju baru tiap bulan, sekarang aku bisa beli baju baru tidak setiap 6 bulan, sehingga bajuku itu-itu saja. Sekarang, setiap berbelanja, hampir selalu kebutuhan anak-anak yang kubeli. Pakaian mereka, sepatu dan sandal mereka, hampir selalu seperti itu.

Itu baru tentang pakaian yang tidak termasuk pengeluaran sangat besar. Belum lagi pengeluaran untuk benda yang tidak penting-penting amat seperti handphone. Aku tidak akan pernah meminta dibelikan baru jika Hubby tidak menawarkan. Saat orang-orang sibuk ber-BB kanan-kiri, aku masih setia dengan ponsel yang tidak kuno-kuno banget sebenarnya, tapi dibanding Blackberry atau iPhone, ponselku terlihat seperti dari jaman batu. Juga kacamataku yang sudah patah gagangnya, aku rekatkan saja dengan selotip yang harus diganti beberapa hari sekali. Karena aku sehari-harinya memakai contact lens, kuanggap kacamata bukan pengeluaran yang mendesak sehingga ya, aku tahan-tahanin saja memakai kacamata yang sudah tidak karuan bentuknya ini.

Aku masih struggle dan masih tetap harus belajar mengatasi rasa tak nyamanku ini. Walau Hubby pernah berkata, "Kamu kan bisa cek sendiri spreadsheet-nya di Excel." jika aku berkata aku tidak tahu posisi keuangan kami saat ini, atau Hubby juga bilang, "Kalau memang butuh, ya pakai saja uangnya." tetap saja aku belum sepenuhnya nyaman memperlakukan uang ini sebagai uangku pribadi. Aku lebih melihatnya sebagai uang keluarga yang harus dibelanjakan dengan bertanggungjawab, sama seperti waktu aku mengelola uang kantor saat sedang diberi tugas. Masih sulit melihat bahwa itu adalah uangku juga, yang berarti bisa kugunakan sesuka hatiku.

Pernah aku mengajukan pada Hubby, agar ada anggaran khusus semacam gaji tetap buatku. Namun dia menganggapnya konyol, karena aku punya akses ke semua rekening kami. Dia masih tidak bisa memahami betapa berartinya buat perempuan yang pernah punya gaji tetap seperti diriku untuk merasa dirinya masih punya fasilitas yang sama. Atau aku terlalu berlebihan?


Ya, aku merindukan bisa merasakan lagi, "This is the money I earn, so it's my call how to spend it."

Sepertinya aku harus mulai memikirkan bagaimana caranya bisa punya income lagi. Yah, paling tidak untuk diriku sendiri.

No comments :

Post a Comment