Pelajaran dari Tongkat Es Krim

Anak saya yang pertama, Joel, punya satu sifat yang kadang mengesalkan, yaitu kecenderungannya memaksakan sesuatu yang dia yakini kepada orang lain, dengan cara yang bisa membuat orang itu alih-alih mau ikut sarannya, malah jadi bete adanya.

Seperti hari ini, saat kami mau berenang di kolam renang kompleks. Joel (9th) memaksa Chloe (5th) untuk mau masuk kolam besar, yang dalamnya lebih dari 1.2m. Alasannya adalah karena Chloe sudah memakai pelampung tangan, jadi harusnya tidak perlu ada keraguan masuk kolam besar. Namun tentu saja Chloe menolak. Joel terus memaksa, Chloe terus menolak. :) Joel mulai kesal, Chloe apalagi. Sudah cukup lama saya memutar otak untuk membuatnya mau 'mengalah', khususnya pada adik perempuannya ini.

Teringat saya akan sebuah artikel, mungkin Joel akan lebih bisa memahami lewat analogi itu.

Saya tanya dia apakah yang akan terjadi jika saya menggunakan tongkat es krim untuk membersihkan pipa cerutu.
"Meledak. Nyangkut," usul Joel.
"Ada lagi? Kalau kita paksa si tongkat itu terus padahal udah nyangkut?" tanya saya.
"Patah," katanya lagi.
Snap. Tongkat es krim saya patahkan.

"Beda sekali dengan pipe cleaner (kawat bulu) yang fleksibel itu, ya. Dia bisa menekuk di mana saja. Mudah masuk-masuk ke tempat yang ga lurus, yang lekuk-lekuk. Seperti itulah orang yang fleksibel, yang tidak memaksa orang lain harus begini harus begitu."

http://talesoftheelectricmonk.blogspot.com/2009/04/pipe-cleaners.html

Dia menangkap makna yang terkandung di baliknya, karena air matanya mulai mengembang.

"Tapi Chloe kenapa ga mau masuk ke kolam yang besar?"
"Karena Chloe belum siap, Joel. Nanti kalo kita paksa terus malah bisa-bisa Chloe selama-lamanya ga mau masuk kolam besar lagi karena punya pengalaman buruk. Dulu Joel juga Mama ga paksa masuk kolam gede, lho. Sampai Joel siap sendiri."

Dia menghapus air matanya.

"Chloe, kalo pake pelampung ga akan tenggelam," katanya lagi, tapi tak lagi dengan nada memaksa.

Chloe tetap menolak. Tentu saja. ;)