Sunday, August 18, 2013

Mereka Sudah Pergi


Hari buruk bagiku. Aku yang mencoba untuk membantu rekanku Warto menangani komplen rombongan pelanggan, malah kena getahnya.

"Namanya siapa, Mbak?"tanya salah satu dari rombongan itu.
"Dea," jawabku enggan.
"Lengkapnya?" kata wanita itu sambil memencet-mencet ponselnya.

Waduh! Rasanya aku tahu apa yang akan terjadi. Aku akan diadukan ke manajemen. Aku akan mendapat teguran keras karena tidak ramah kepada pelanggan dan mungkin akan dipecat. Aku dan mulutku yang tak pandai bermanis-manis.

Argh!

Padahal hanya uang dua ribu rupiah yang mereka permasalahkan, yaitu selisih harga di rak dan komputer. Untuk sebotol minyak gosok!

Ketika mereka berlalu, kesal kutinju lengan Warto, "Gara-gara kamu! Gimana kalo gua dipecat, To?"
Warto garuk-garuk kepala. Memang tidak enak harus tetap bekerja pada lebaran hari ke-3.

"Mammaaaa!! Mama!"
Seorang anak kecil berbaju kotak-kotak tiba-tiba muncul dari salah satu lorong, menangis keras dekat counter kasir. Masih batita sepertinya, masih kecil. Tak ada yang meresponi tangisannya. Tak ada yang menghampirinya. Ke mana ibunya?

Dia masih menangis. Aku mendekatinya. Dia mau kugendong.

"Mamanya mana, Dek?"
Berderai-derai air mata di wajah kecilnya. Hati siapa tak iba. Kugendong dia berkeliling mencari ibunya. Tidak ada yang mengenalinya.

"Ini anak siapa ya, To? Kamu lihat ga tadi dia datang sama siapa?"
Warto menggeleng, lalu mencetuskan ide briliannya,  "Coba liat CCTV."
Tak banyak yang kami dapat dari rekaman CCTV, kecuali bahwa anak kecil itu memang sudah cukup lama di sini, dia pasti masuk saat toko cukup ramai. Terlihat di rekaman, anak itu bermain di area rak popok bayi, mengambil beberapa bungkus popok, menumpuknya di lantai, dan asyik bermain dengan popok-popok itu.

Lima menit berlalu, tak juga ada yang mencari anak kecil yang kini kubawa ke balik meja kasir. Dia sudah tidak menangis. Wajahnya yang sembab bekas menangis sungguh lucu.

"Gimana ya, To?"
Warto tadi sudah mencoba mencari keluar toko, barangkali ada ibu-ibu yang mencari anaknya. Tak ada petunjuk. Tak ada yang mencari anak kecil ini.

Aku tadi sudah mencoba bertanya kepada si anak kecil, dia hanya tersenyum-senyum tanpa menjawab. Anak ini manis sekali sikapnya. Tidak menangis, tidak menjerit. Sungguh aku heran ke mana ibunya. 

"Gimana, ya. Apa kita tunggu sampai jam 12 malam? Ke mana sih ibunya, masa ga sadar anaknya ga ada?"

"Kalau ga datang gimana ya, To?"
"Kayaknya elu harus bawa dia ke polisi, atau bawa pulang ke rumah."
"Polisi? Ih? Masih kecil begini, kasian tau! Atau... jangan-jangan anak ini sengaja ditinggalin ya, To?"
"Iya, ya. Bisa juga."

Kami berdua kebingungan. Anak itu bermain-main di bawah counter. Mungkinkah dia lapar? Walau tadi aku sudah kehilangan dua ribu rupiah untuk kelalaian meng-update harga di rak, tak apalah membelikan anak ini roti.

"Mau roti ya, Dek?"
Dia mengangguk dan makan roti yang kubelikan untuknya. Aku berjongkok dekat kursinya, mengelus-elus rambutnya. Dia tidak keberatan. Bocah kecil yang manis.

Brak! Pintu kaca minimarket dibuka dengan keras. Seorang wanita dan laki-laki mendobrak masuk. Wajah mereka panik tapi seketika berubah sangat lega saat melihat bocah kecil yang sedang duduk makan roti ini.

"Mimi!"
Anak itu langsung turun dari kursi dan berjalan menghampiri pasangan itu, langsung digendong dan diciumi oleh yang wanita. Yang laki-laki membelai-belai punggung si kecil.

"Ini anak Ibu?" tanyaku. Tiba-tiba aku teringat, ibu inilah yang tadi komplen tentang minyak gosok, dan memberikan ceramah kepada Warto tentang prosedur penggantian selisih harga antara yang di rak dengan di komputer. 

Wajah si Ibu terlihat malu. Mungkin dia tidak enak karena tadi menyebutku tak ramah.

"Ini rotinya saya ganti ya, Mbak?"
Dengan suaraku yang besar dan serak, yang sering dikira sedang marah itu kujawab dia, "Kami ikhlas kok, Bu."

Wajahnya makin terlihat tidak enak. Tidak enak hati? Mungkin. Tapi aku memang ikhlas. Anak ini tidak salah. Yang salah si Ibu yang bisa-bisanya meninggalkan seorang anak sekecil ini di sebuah tempat umum dalam waktu lebih dari setengah jam!

Wanita itu berterima kasih padaku dan Warto, dan kini dia beranjak mau pulang.

Tiba-tiba, masuk pula ke dalam toko, pasangan suami istri yang kutahu pemilik rumah makan masakan Tegal sebelah toko kami. 
"Iya, udah. Udah sama mamanya. Anaknya pake baju kotak-kotak," kata sang istri yang sedang bertelepon.
"Kok bisa ketinggalan sih, Ci?" cecar si suami rumah makan Tegal pada ibu yang meninggalkan anaknya itu.

Lalu mereka semua pun pergi. Meninggalkanku berdua dengan Warto yang masih takjub dengan yang baru saja kami alami. Pembeli yang komplen. Dua ribu tiga ratus untuk minyak gosok. Tiga ribu lima ratus untuk roti. Batita yang menangis. Pemilik rumah makan masakan Tegal. Mereka sudah pergi.

(berdasarkan kisah nyata). 10 Agustus 2013.

No comments :

Post a Comment