Thursday, January 9, 2014

Rumah untuk Mereka yang Tidak Diinginkan

Tadi pagi saya menonton video trailer yang amat menyentuh berjudul Dropbox. Video itu tentang pelayanan cinta kasih yang telah dikerjakan pasangan hamba Tuhan Pastor Lee Jong-rak bersama istrinya Chun-ja selama lebih dari dua puluh tahun.


"The Drop Box" - Documentary Trailer from Arbella Studios on Vimeo.

Ps. Lee dan istrinya punya seorang anak laki-laki yang menderita Celebral Palsy bernama Lee Eun-man. Kasihnya yang tak terbatas dicurahkan selama proses kelahiran dan perawatan Eun-man berbelas-belas tahun lamanya, Ps. Lee pun mulai dikenal sebagai "The Lover of the Unlovable". Ps. Lee menerima banyak bayi dan anak-anak yang tak diinginkan sejak itu. Kebanyakan anak-anak itu berkebutuhan khusus, celebral palsy, down's syndrome, dll.
Suatu hari, seorang bayi diletakkan di depan rumahnya dalam cuaca yang amat dingin. Bayi itu pasti sudah mati kedinginan jika Ps. Lee terlambat menemukannya. Hal ini mendorongnya memasang sebuah kotak khusus, hangat, nyaman, untuk meletakkan bayi yang tak diinginkan orang tuanya. Kotak itu bahkan bisa membunyikan bel, jika ada bayi yang diletakkan di sana. Ps. Lee sebenarnya tidak berharap akan ada bayi yang diletakkan di situ, tapi ternyata bel telah berbunyi beberapa kali sejak kotak itu dipasang.
Ps. Lee mendapat masalah dengan dinas kesejahteraan anak karena kotak ini (klik).
Lengkapnya tentang Ps. Lee di kindredimage.org ini (klik).

Kisah Ps. Lee membuat saya teringat dengan Rumah Anugrah yang dikelola oleh pasangan Pak Gaspar Mangke dan Ibu Cynthia.
Natal tahun 2013 lalu, saya dan beberapa teman gereja merayakan natal bersama anak-anak yang ditampung oleh pasangan ini di rumah mereka. Usia mereka berkisar dari bayi hingga remaja.
------------------------
Bertahun-tahun lalu, gereja saya punya sebuah pelayanan khusus bernama Rumah Harapan. Tempat ini adalah tempat singgah bagi perempuan-perempuan yang kehamilannya tidak diinginkan. Perempuan-perempuan ini ada yang adalah korban perkosaan, ada yang hamil karena pergaulan bebas, dan semacamnya. Mereka didampingi hingga melahirkan, diberi bimbingan rohani, juga diberikan keterampilan yang memadai agar dapat mandiri kelak. Umumnya bayi-bayi itu mereka tinggalkan, mungkin ada juga yang membawanya pulang.

Saya pernah berkunjung ke Rumah Harapan, teman sekamar saya di kos dulu volunteer di tempat ini. Dia bercerita bagaimana para staf dan volunteer melayani, mengasihi, dan menyayangi bayi-bayi ini. Mereka percaya, bayi-bayi yang sering disentuh, dibelai, diberi kasih sayang, akan tumbuh sehat dan ceria. Para staf juga dibekali cara menangani, menenangkan bayi-bayi yang sedang ngamuk, bagaimana pun mereka adalah bayi yang terluka, walau masih bayi mereka sudah mengalami penolakan. Bayi-bayi ini kemudian diberikan untuk diadopsi atau diindahkan ke panti asuhan milik gereja yaitu Rumah Kasih Bapa.
--------------------------

Gaspar Mangke terpanggil untuk melayani anak-anak sejak awal. Lewat suatu peneguhan dalam sebuah ibadah, Pak Gaspar meresponi panggilan untuk menjadi bapa bagi anak-anak yang tak diinginkan. Istrinya, Ibu Cynthia, pada jam ibadah yang berbeda, juga meresponi panggilan itu. Mereka tak janjian sebelumnya. Panggilan ini mereka ambil, mereka kerjakan, hingga hari ini. Pelayanan mereka adalah memberikan rumah bagi anak-anak yang membutuhkan, rumah itu diberi nama Rumah Anugrah.

Anggota keluarga Rumah Anugrah. Pak Gaspar, baju hitam, berdiri di sebelah kanan anak laki-laki berbaju merah bertopi sinterklas. Ibu Cynthia paling kanan.

Acara permainan. Paling kiri adalah Meri, menantu Pak Gaspar, istri Daniel.
Meri banyak terlibat dalam membantu pelajaran adik-adiknya.
Awalnya mereka menampung anak-anak yang bisa dibawa keluar dari Ambon saat terjadi kerusuhan berdarah. Anak-anak ini begitu liar, penuh pemberontakan, cerita Pak Gaspar, namun kini mereka sudah banyak berubah. "Anak yang sering disentuh, diberi kasih sayang, pasti akan berubah," kata Pak Gaspar pada saya.

Kini, Rumah Anugrah juga menampung bayi-bayi dari Rumah Harapan. Rumah Harapan sendiri kalau saya tidak salah sudah tidak beroperasi, karena ketiadaan pengurus.

Sambil menyuapi puding ke seorang anak perempuan kecil, Pak Gaspar bercerita pada saya, "Itu staf kami, dia dulu saya temukan menggelandang di jalan, umurnya 13 tahun. Sebatang kara, tidak bisa baca, tidak pernah sekolah. Kami bawa ke rumah, kami sayangi, kami sekolahkan, kami didik. Kini dia sudah lulus kuliah di dua tempat, akademi perawat dan sekolah tinggi teologi, sudah menikah dengan teman sesama mahasiswa teologi, dan sudah punya anak." Ada nada haru dan bangga di situ. Siapa yang tidak. Jika dulu Pak Gaspar dan Bu Cynthia tidak mengambilnya dari jalan, entah bagaimana nasib perempuan muda ini.

Tiga puluhan anak, semuanya butuh makan, butuh dana untuk pendidikan dan keperluan pribadinya. Bagaimana pembiayaannya? Pak Gaspar dan Ibu Cynthia membiayai operasional rumah yang dihuni lebih dari tiga puluh orang ini salah satunya dengan beternak ayam, ayam kampung dan ayam potong. Telur-telur ayam kampung mereka kemas dengan nama Telur Ayam Kampung Organik "Rumah Anugrah". Sesekali saya beli telur-telur ini di gereja.

Pak Gaspar sendiri punya empat anak kandung, dua laki-laki, dua perempuan. "Sulit menerima bahwa kami harus berbagi Papi-Mami awalnya," tutur Daniel anak sulungnya yang kini sudah menikah, "Apalagi waktu masih sekolah. Kami butuh ini, butuh itu, tapi sering harus mengalah dengan anak-anak lain yang sebenarnya bukan anak kandung Papi."

Pak Gaspar punya kisah lucu tentang ini.
"Anak-anak memang sulit menerima tadinya. Tapi Tuhan itu punya cara. Kami pernah punya burung nuri peliharaan. Burung itu pintar menirukan suara. Kalau saya pulang, si burung akan berteriak, 'Papi pulang! Papi pulang!' Semua sayang pada burung ini. Kalau naik motor, burung ini dibawa di pundak. Sayang sekali. Suatu hari, burung ini mati. Kemudian burung itu dimakamkan, secara Kristen. Semua sedih. Rumah mendadak sunyi, tidak ada yang bicara."
Pak Gaspar menggunakan kesempatan ini untuk bicara hati ke hati dengan anak-anaknya.
"Kalian sayang dengan burung ini. Kalian semua sedih waktu dia mati. Kalau burung yang bisa kalian beli lagi saja kalian bisa sedih begini, bagaimana dengan anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya itu? Kalau mereka mati, siapa yang akan sedih buat mereka?"

Tuhan memakai peristiwa kematian sang burung untuk mengetuk pintu hati anak-anak kandung Pak Gaspar. Sejak itu, keempat anak kandung Pak Gaspar membuka diri menerima saudara-saudara lain ditambahkan ke dalam keluarga mereka, merelakan Papi-Mami mereka menjadi Papi-Mami bagi anak-anak lain.

Apa yang dibutuhkan Rumah Anugrah saat ini? "Puji Tuhan," kata Daniel, "untuk makan kami cukup." Anak-anak butuh guru les Bahasa Inggris sebenarnya, karena sekolah mereka berbahasa pengantar Bahasa Inggris, sementara kemampuan mereka jauh dari itu.

Jangan buru-buru menuduh bahwa mereka bersekolah di tempat yang mahal. Tidak, sekolah ini tidak mahal, percayalah, karena anak saya pernah bersekolah di situ. Sekolah ini adalah sebuah sekolah yang didirikan atas visi dan misi memberikan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak yang kurang beruntung, anak-anak dari kaum marjinal. Dengan uang sekolah subsidi silang (uang sekolah regular bagi murid yang mampu), anak-anak dari kaum marjinal dimungkinkan untuk bersekolah yang mengadopsi kurikulum dari luar negeri ini. Saya dengar, bahkan ada anak pemulung yang sudah sampai Amerika, mendapat beasiswa.

Kunjungan kami hari itu hampir batal, karena tadinya Pak Gaspar dijadwalkan akan ikut taping acara 'Kick Andy', namun ternyata tidak jadi, karena ada beberapa anak yang butuh kehadiran Sang Papi di sekolah pada waktu yang bersamaan.

----------------------
Apakah sosok Pak Gaspar ini mengingatkan pada Pendeta Lee? Saya kira begitu. Beliau berdua sama-sama tidak mencari popularitas, mereka bekerja diam-diam, menolong anak-anak yang tidak diinginkan. Ya, saya rasa demikian.

No comments :

Post a Comment