Saturday, January 31, 2015

Bincang Toilet

Sebagian orang menganggap kata 'toilet' itu kurang sedap didengar, karena kita lebih suka mendengar kata 'kamar kecil' ketimbang 'WC' atau bahkan 'jamban', bukan?

Nah, saya tidak menyangka toilet ini bisa masalah yang cukup berarti bagi keluarga kami saat berkunjung ke Australia akhir tahun 2014 lalu. Apa pasal? Tak lain tak bukan adalah absennya benda maha penting bernama semprotan toilet.


Ya, ya, saya tahu ini bukan topik yang indah untuk dibahas. Tapi, ketahuilah, toilet dan semprotannya bisa jadi masalah besar bagi seorang Indonesia.

Australia, sama seperti USA, lebih akrab dengan tisu toilet ketimbang semprotan atau gayung dan ember bagi kita. Di mal, di hotel, di stasiun kereta, di toilet umum, tak ada semprotan. Adanya tisu, dan tisu itu selalu ada. Bahkan, beberapa toilet di tempat umum menyediakan gulungan tisu cadangan di dalam kamar kecil tersebut. Jika itu terjadi di Indonesia, hampir dapat diduga, cadangan tersebut akan raib, berpindah kepemilikan. :) Singkat kata, di Australia, tisu toilet adalah suatu keniscayaan. Sementara, bagi saya si Indonesianis, semprotan adalah die-die-must-have. Tak ada titik temu. Maka sepuluh hari lalu di Australia adalah sebuah penderitaan. Jadi, bisa dibayangkan betapa bahagia dan leganya saya saat berkunjung ke rumah seorang teman Indonesia di Melbourne, yang telah melengkapi toiletnya dengan alat siram bernama self-cleaning nozzle atau ada yang menyebutnya secara kurang tepat sebagai bidet.

Ngomong-ngomong soal toilet, saya si Indonesianis penasaran, mengapa ada bangsa-bangsa tertentu yang 'tega' dengan pantatnya (baca: anus). Tidaklah lebih baik dibasuh dengan sabun dan air? Yang pernah mencoba membersihkan diri dengan tisu usai mengerjakan 'pekerjaan besar' pasti tahu, adalah mustahil bersih total dengan kertas berlembar-lembar itu, tak peduli sepanjang apa pun lembaran itu.

Demikian hasil penyelidikan saya:
Ada tiga cara membersihkan bagian belakang setelah berhajat besar. Yang pertama dengan kertas, kedua dengan air, ketiga kombinasi keduanya.
Budaya kertas adalah milik bangsa Barat. Namun beberapa bangsa Eropa seperti Spanyol, Italia dan bangsa-bangsa Timur umumnya condong pada cara kedua yaitu menggunakan air, atau cara ketiga yaitu air yang dikombinasikan dengan tisu.
Sepertinya budaya bersih-bersih bagian belakang di Indonesia ini adalah warisan dari budaya Islam, karena menurut referensi yang saya baca, Islam mengharuskan umatnya untuk selalu menjaga kebersihan mereka secara menyeluruh. Tak heran, peralatan bebersih minimal ember berisi air dan gayung tersedia di setiap rumah di Indonesia.
Referensi dari sini.

Untuk melengkapi referensi, mungkin buku yang ditulis oleh seseorang bernama Dr. Jane Wilson-Howarth tentang pengalamannya dengan toilet saat menjelajah dunia, bisa jadi acuan.



Jadi bagaimana mengakali toilet tak bersemprotan? Tenang, orang Indonesia terkenal cerdik, panjang akal, karena mereka sudah 'dilatih' oleh pemerintahnya untuk hidup berdikari, tak menggantungkan diri pada orang lain. Software mahal, beli bajakan! Buku paket dan diktat mahal? Fotokopi saja. Jalanan macet? Naik kendaraan yang lebih ringkas dan jago selap-selip, macet pun tak lagi jadi penghalang. Internet lambat? Ah, ini belum ada obatnya. Masalah semprotan toilet. Gampang! Botol air minum kosong solusinya. Selain sebagai toilet berjalan bagi anak laki-laki, benda berharga ini bisa jadi gayung darurat. :)

Oh ya, satu pertanyaan lagi selaku orang Indonesia, apa yang harus dilakukan dengan tisu toilet yang telah dipakai untuk menyeka bagian belakang? Dibuang ke dalam lubang toilet tentu saja! Ha? Apakah tidak bikin mampet? Ah, jangan khawatir, tisu-tisu toilet di negara pengguna tisu toilet itu sudah dibuat dari bahan yang akan hancur dalam air. Jangan sekali-sekali melakukan itu di Indonesia! Tisu kita beda, teman.

Selamat menikmati indahnya hidup bersama semprotan di toiletmu, Kawan. :)

No comments :

Post a Comment