Saturday, February 20, 2010

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga

Oh! Betapa risihnya aku tiap kali ditanya pekerjaan. Betapa enggannya aku menyebut tiga kata ini: ibu rumah tangga.

Biasanya aku memilih mengatakan begini, "Di rumah." Atau kalau mood-ku sedang bagus, aku tambahkan, "Ngurus anak." Lalu aku cepat-cepat mengubah topik pembicaraan adalah begitu kusebut. Aku tidak ingin membahasnya.

Tetapi lawan bicaraku tidak selalu berbaik hati padaku. Kadang ada yang berusaha mengorek lebih jauh. "Di rumah aja?" atau "I er te, ya?"

Masalahnya, aku tak selalu bertemu orang-orang yang akan memberikan kata-kata yang bisa menguatkan seorang ibu yang sedang menjalani masa-masa awal transisi dari dirinya yang punya karir di luar rumah dengan harum parfum lembut menjadi dirinya yang bau bawang karena habis menumis kangkung.


Beberapa bulan lalu, aku adalah seorang perempuan yang bekerja di sebuah organisasi sosial internasional, yang berangkat kerja dengan mencangklong ransel besar hitam dengan logo organisasi berisi laptop lungsuran bosnya.

Lalu, kini, tiba-tiba aku kehilangan identitas. Saat kulepas status kepegawaianku, aku menjadi 'hanya' seorang ibu. Walaupun pilihan ini dengan sadar kuambil, toh, tetap juga kadang aku merasa bimbang, dan ragu akan kedirianku.

Lebih parah lagi, setelah Siti pergi (Siti adalah pengasuh J dulu), aku mendapatkan seorang asisten rumah tangga (a.k.a pembantu) yang hanya bertahan seminggu. Artinya, aku diperhadapkan dengan pekerjaan domestik yang tak biasa aku kerjakan.

Dunia terasa begitu tidak adil waktu itu. Anakku J belum genap tiga tahun, belum bisa banyak membantu. Sementara itu suamiku Hubby, bukan jenis pria yang akan segera mengetahui istrinya butuh bantuan hanya dengan sekali menyapukan pandangannya ke isi rumah yang berantakan atau bak cuci piring yang penuh piring kotor.

Mengapa aku? Why me? Aku kan sudah berkorban. Aku sudah melepas pekerjaanku. Aku melepas gajiku. Aku melepas kesempatanku traveling ke pelosok Indonesia, bahkan ke kota-kota lain di dunia.

Mengapa aku yang sudah banyak berkorban, masih harus melakukan pekerjaan hina ini? Mengelap meja makan yang kotor karena tumpahan makanan, mencuci peralatan masak yang berlumuran minyak. Mengapa aku seorang perempuan yang selalu merasa dirinya lumayan berbakat (ehmmm) harus turun berderajat-derajat? Aku terperangkap dalam perasaan mengasihani diri yang parah, merasa diri tersia-siakan.

Aku ke pasar, masak, melayani semua kebutuhan J, dan berusaha keras memenuhi kebutuhan sosialisasiku dengan Yahoo! Messenger atau Gmail. Diet internet ini yang paling berat buatku, karena saat di kantor, aku selalu terhubung dengan dunia luar dari balik kubikelku melalui suatu jaringan mahadahsyat bernama internet. Kini, dengan internet dial-up yang kecepatannya menyesakkan dada, aku tak bisa berinternet sesuka hati lagi. J harus mandi, harus makan (dua jam), main, pup, tidur, bangun, makan buah, minum susu, makan, main, tidur lagi, dan begitu seterusnya.

Kecemburuan sering melandaku saat Hubby berangkat kantor tiap pagi. Cemburu karena dia punya kehidupan pribadi. Aku tak lagi punya kehidupan pribadi. Tidak ada lagi istirahat makan siang, yang memberikan nice break selama satu jam untuk sekedar membuang jenuh.

I want a break! A break, puhleeze. B.R.E.A.K.

"Mama....."

Ah, itu dia bocah kecilku bangun dari tidur siangnya.

Saat dia memelukku lekat-lekat, seolah sudah sebulan tak bertemu, kehangatan tubuh bocahnya segera melumerkan hatiku dan membuatku mendadak terserang amnesia.

No, no. I don't need a break. This is what I want. To be with him. To watch him grow, to be closely involved with all of his emotional development.

"Mama, mau pup."

:D

1 comment :

  1. Saluuuuut buat mommy2 yang 100% ngurus keluarganya...kadang aku iri..=)

    ReplyDelete