Sunday, January 25, 2015

Immigration Museum: Life Redefined

Pernah meneteskan air mata di dalam museum? Saya pernah. Di sini.

Dari sedikit museum yang pernah saya kunjungi, tak banyak museum yang membuat saya terkesan. Museum Satwa di Batu salah satu yang membuat saya berdecak kagum, museum sejarah perang di Canberra, dan museum Imigrasi di Melbourne adalah tiga museum yang paling mengesankan untuk saya. Dari ketiganya, museum Imigrasilah yang paling membuat saya tersentuh.

Museum yang satu ini sungguh berbeda. Ada begitu banyak cerita di dalamnya, yang berkisah tentang begitu banyak kehidupan baru yang coba didefinisikan ulang oleh pelakunya.

Brosur Immigration Museum yang kami ambil dari trem 

Immigration Museum ini terletak di pusat kota Melbourne, tak begitu jauh dari Flinders Street Station, bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Setelah membayar tiket masuk, kami diberikan denah museum dan rekomendasi untuk memulai petualangan kami dari mana. Museum ini terdiri dari 3 lantai, dan tiket masuk museum ini adalah AUD 12 untuk orang dewasa, dan gratis untuk anak-anak di bawah 16 tahun. 

Kami memulainya dengan masuk ke Discovery Centre. Isinya adalah banyak buku, dan media lainnya. Ada beberapa arsip yang mencatat kedatangan para imigran ke Australia selama periode tertentu. Seperti ini misalnya:

Incoming Ship List to Station Pier 1924-1964
Di sini juga ada komputer yang bisa digunakan untuk mencari data. Saya bayangkan seseorang sedang mencoba mencari akarnya, mencoba merunut sejarah keluarganya di situ, mencoba menelusuri jejaknya di negara tersebut, seperti yang dilakukan anak laki-laki ini. Hahaha.
Who am I?
Ada sebuah buku yang menarik perhatian saya, berjudul The Really Big Beliefs Project. Ceritanya, ada dua murid kelas 6, Emma Barnard dan Thomas Cho, yang memilih menulis tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada (baca: agama) saat mendapat tugas menulis dari sekolah. Lalu, mereka mewawancara penganut kepercayaan tersebut. Kristen/Katolik, Islam, Hindu, Buddha, Tao, Sikh, Shinto, dan sepertinya masih ada lagi. Yang mau baca, beberapa sampel halamannya bisa dibaca di sini.

Cover. Penulis aslinya adalah Meredith Costain
Saya coba fotoin dua halaman pertama yang membahas tugas mereka, ini urut, ya.
Christianity
Islam
Saya bayangkan, alangkah baiknya jika anak-anak Indonesia mendapat tugas seperti ini, agar mereka dapat lebih kenal langsung tentang agama-agama di Indonesia, dan mendengarnya langsung dari nara sumbernya, bukan dari pihak ketiga. Alangkah indahnya, jika anak Indonesia bisa melihat saudara sebangsanya sebagai bagian dari dirinya yang berbeda tetapi tak lain tak bukan adalah saudaranya. Tapi mungkin agak sulit, karena memang ada beberapa pihak yang merasa tidak aman, insecure dengan keyakinan mereka, sehingga takut teracuni. Sebelum kita bisa keluar dari ketidakamanan kita, menurut saya, apa yang kita yakini itu belum bisa disebut keyakinan. Keyakinan atau ketidakyakinan?

Kami kemudian naik ke lantai dua, masuk ruang pamer bernama Leaving Home yang sedang memutar film dokumenter tentang para imigran. Film pendek yang sangat mengharukan. Pandangan saya tiba-tiba kabur saat film berkisah tentang pertemuan yang terjadi setelah bertahun-tahun berpisah, atau kesan seorang istri yang baru pertama kali melihat suaminya setelah dijodohkan keluarga karena sang suami ada di Australia. Pipi saya terasa basah saat seorang imigran asal Sudan berkata, "Selama ini saya pikir semua orang seperti saya. Setiap hari harus mengambil air berkilo-kilometer. Harus berjuang untuk mencari makan, dst." Juga cerita mereka yang mencari suaka politik ke Australia. Kisah-kisah itu mendebarkan sekaligus mengharukan. Tidak semua imigran ini datang dengan suka rela. Banyak juga yang terpaksa meninggalkan tanah airnya demi sebuah kemerdekaan.

Keluar dari ruang ini, kami melihat sebuah ruang pamer berbentuk kapal yang diberi nama Journey Gallery.

Kapalnya. Source: http://museumvictoria.com.au
Lihat anak kecil ini, terlihat begitu sengsara di dalam kapal
Di dalam kapal, akan kita temukan setting yang dibuat menyerupai pelayaran pada masa itu. Kapalnya sangat sederhana. Ada tong-tong berisi persediaan makanan, ranjang dua tingkat, dan toilet. Sedangkan di bagian luar kapal, ada jendela-jendela bulat yang jika kita intip, isinya adalah binatang-binatang yang ikut berimigrasi bersama para imigran manusia. Ada tikus, burung, kecoak, dan beberapa binatang lain.

Naik ke lantai berikut, adalah Identity: Yours, Mine, Ours. Di sini kita bisa memutar kisah-kisah personal para imigran. Mereka akan berkisah tentang pengalaman, perjuangan, tantangan, dan kehidupan mereka sebagai pendatang.
Kemudian ada lagi pohon harapan, di sini para pengunjung dapat menggantung harapan-harapan mereka.
The Wishes. source: http://museumvictoria.com.au


Bayangkan seluruh hidupmu kaujejalkan ke dalam sebuah koper 
Bersiap berangkat ke sebuah tempat yang tak kaukenal
Kau akan tercabut dari asalmu
Kau akan temukan hal-hal baru, 
sedemikian baru hingga terasa asing bagimu. 
Entahkah kau akan berhasil
atau kau harus mengakui kekalahanmu
Di sanalah akan kau buktikan
Di tempat barumu
Yang kelak akan kau panggil: Rumah


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan: Kejadian penyanderaan di Martin's Place, Sydney di bulan Desember 2014 ini juga menceritakan sisi gelap seorang imigran. Dia yang mendapat suaka, mendapat perlindungan dari pemerintahan dan rakyat Australia, menodai kepercayaan yang telah diberikan. Saya bisa bayangkan luka yang ditimbulkan oleh ulah pendatang yang tidak punya itikad baik seperti ini. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi.

No comments :

Post a Comment