Wednesday, January 21, 2015

Masuk Lorong Waktu, Kunjungan Diplomatik, dan Rapat Bersama Tony Abbot di Canberra

Hari ini kembali kami mencoba menyimpan Canberra ke dalam kenangan untuk dibuka kelak.

Dengan berat hati kami check out dari Alivio Tourist Park. Tahu tidak salah satu alasan saya suka tempat ini selain memang tempatnya bagus? Karena saya suka dengan pilihan font-nya yang sederhana tapi cantik. Haha. Alasan yang aneh.

Sebelum pergi, saya mengucapkan salam perpisahan dengan bumbu-bumbu hidup yang ditanam dekat area barbeque. Oh, thyme, oh, rosemary, oh, basil, sayang aku tak sempat menikmati keindahan rasa kalian. Lain kali, ya!

Australian War Memorial
Tujuan pertama kami pagi itu adalah: Australian War Memorial (AWM). Tempat ini sebenarnya adalah sebuah taman makam pahlawan bagi mereka yang gugur tanpa nama dalam perang dunia satu. Mereka dimakamkan di The Hall of Memory, sebuah ruang berkubah dengan hiasan mosaik yang cantik. Untuk mencapai makam ini, kita akan melewati selasar The Roll of Honour yang di dinding kanan-kirinya terpatri nama para pahlawan.

Jalan menuju The Hall of Memory. Di salah satu dinding tertera tulisan Timor dan Ambon.
AWM sekaligus juga adalah sebuah museum kelas dunia yang mendapat rekomendasi sebagai wajib kunjung saat di Canberra. Lagipula ini ((((gratis)))). Parkirnya gratis, wi-fi-nya pun. Duh, surga bagi fakir wi-fi.

Masuk ke AWM serasa masuk ke lorong waktu. Museum yang dikurasi dengan saat baik, dengan koleksi yang luar biasa lengkap dan terawat, tak mungkin tak berdecak kagum.

Mari masuk lorong waktu WWI
Museum terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama museum dibagi dua galeri besar, Perang Dunia I (WWI) dan Perang Dunia II (WWII), satu galeri  pesawat tempur yang membuat cowok-cowok saya betah berlama-lama, dan satu galeri bernama Anzac Hall, yang tidak terlalu saya pahami. Lantai atas adalah Hall of Memory, berisi penghormatan untuk sejumlah nama. Sedangkan lantai dasar adalah galeri untuk perang yang lebih modern seperti perang Afganistan dan lain-lain. Di lantai dasar ini juga ada Discovery Zone yang memutar film perang lengkap di dalam sebuah helikopter yang diperlengkapi dengan multimedia/simulator. Deru baling-baling, getaran-getarannya, tembakan-tembakannya terasa sangat dekat. Tempat ini secara jelas digemari oleh para pria. Beberapa anak sekolah tampak terpesona di dalam heli Iroquois yang digunakan saat perang Vietnam ini. Seru, sambil nonton sambil merasakan sensasi perang.

Salah satu koleksi di Aircraft Hall
Rasanya, tidak akan cukup waktu satu hari untuk menjelajahi setiap sudut museum ini. Oleh sebab itu, AWM menyediakan tur terpandu. Kerennya, para pemandu adalah sukarelawan yang amat menguasai detil sejarah. Dengan fasih mereka menerangkan sejarah perang Aussie kepada tamu-tamu mereka, dan kamu bisa lihat itu di mata mereka: gairah, cinta, passion. Mereka melakukannya karena cinta.

Chinatown and East Kitchen
Karena sudah lapar, tibalah saat untuk makan siang. Di manakah? Dengar-dengar Canberra punya Chinatown, tentu saja di situ! Segera kami melaju ke sana. Satu kali nyasar karena asal pencet saat  memasukkan nama jalan di alat GPS si Passat (harusnya Dickson, tapi yang terpilih rupanya Dickinson), akhirnya kami sampai juga. Reaksi pertama saya adalah, Chinatown? Ini saya nyasar lagi atau mereka salah kasih nama?

Canberra's Chinatown
Yang disebut sebagai "Chinatown" tak lain adalah sekumpulan rumah makan Asia (Cina, Jepang, Korea, India, Malaysia), Italia, KFC, dan supermarket. Tak ada ciri-ciri China sama sekali! Duh, kasihan saya sama Canberra. Coba mereka ke Petak Sembilan di bilangan Glodok sana, bisa malu hati dan langsung ganti nama pasti. :)
Setelah menimbang-nimbang antara rumah makan Malaysia, Jepang, Korea, atau chinese food, akhirnya kami memilih sebuah rumah makan yang nyempil lokasinya bernama "East Kitchen".  Walau tampak sepi, pilihan kami tidak salah. Nasi gorengnya enaaak, char kway teow-nya enak banget. Mungkin karena kokinya pernah kerja di Malaysia, sehingga rasa yang dia pelajari adalah untuk lidah Asia Tenggara macam kami ini. Porsinya super duper jumbo. Benar-benar puas makannya. Review tentang restoran kecil ini bisa dibaca di sini.

The East Kitchen
Dickson Area
Shop 2 28 Challis St Dickson, ACT 

Nasi goreng - foto boleh minjem
Restoran ini dimiliki oleh seorang mantan koki asal Hong Kong yang sudah pernah bekerja di hotel-hotel Malaysia, kapal pesiar, dan lain-lain. Saya sempat bertanya pada waitress-nya yang sangat ramah, Rebecca, yang adalah adik si koki ini, "Seberapa besar porsi kalian?" Kwetiaw gorengnya porsi biasa, katanya.

Setelah menunggu beberapa saat, datanglah pesanan kami, sepiring nasi goreng untuk Chloe & Kimi, nasi goreng pedas untuk Pampi, kwetiaw goreng untuk saya, dan laksa daging buat Joel. Alamak, satu porsi itu kira-kira bisa dimakan dua-tiga orang! Kami tentu terkaget-kaget dengan ukuran "biasa" si cici Rebecca ini.

"Ah! Mana ada tenaga kalo hanya makan segitu? Kami orang Hong Kong pekerja keras. Harus makan banyak!" begitu dalihnya, waktu saya katakan porsi di Indonesia paling hanya setengahnya. Ya, ujung-ujungnya emang dibungkus, sih. Herannya Pampi sanggup menyelesaikan porsinya. Mungkin dia lapar. Atau lelah.

Kami sempat ngobrol-ngobrol dengan Rebecca. Si cici ini mengeluh tentang bisnis yang kurang bagus, sementara pajak begitu tinggi, bisa-bisa "Nol!" katanya sambil membentuk angka tersebut dengan jari-jarinya . Tambahnya, "Orang muda biasanya tidak betah di sini. Sekali kamu sudah lihat Sydney, Melbourne, tidak bakal deh kamu mau tinggal di Canberra! Saya sih udah males pindah-pindah lagi."

Betul. Dia sendiri sudah dua puluh tahun lebih di Canberra. :)

Parliament House
Tampak muka, seperti bumerang. Sumber: wikipedia
Satu lagi tempat wajib kunjung saat di Canberra adalah Gedung Parlemen-nya yang sebagian besar terbuka untuk umum.

Setelah parkir (gratis), kami melalui pintu pemeriksaan. Yang memakai ikat pinggang berbahan besi dan jam tangan, mendingan ditanggalkan saja sejak awal, jika tidak akan mengalami apa yang saya alami, dicek berkali-kali. Saya bukan teroris, Pak!  :)

Pas masuk, terus terang ada rasa miris di hati. Teringat gedung parlemen di tanah air tercinta, yang pagarnya pernah harus dipanjati oleh rakyat yang konon katanya diwakili oleh orang-orang di dalamnya, para dewan yang terhormat.

Kami disambut oleh petugas yang ramah, yang memberikan kami gambaran apa yang bisa kami lakukan dalam kunjungan ini. Jangan lupa naik ke atap, katanya, di sana bagus untuk foto-foto. Dia juga menjelaskan bahwa hari ini senat sedang rapat, kami boleh masuk ke ruang rapat, tapi tidak boleh bawa alat perekam gambar apa pun.

Gedung ini sebenarnya adalah gedung baru, gedung lamanya tadinya mau diruntuhkan, namun akhirnya dijadikan museum demokrasi Australia. Parliament House terletak segaris dengan Australian War Memorial. Makin jelas jika kota ini adalah kota yang telah dirancang dengan apik sejak awal.

Tepat di bawah flag pole Gedung Parlemen
Dari puncak gedung parlemen. Gedung putih di bawah adalah Old Parliament House,
dan nun jauh di bawah sana adalah Australian War Memorial, semua terletak dalam satu garis.
Gedung parlemen Australia terbuka untuk dikunjungi oleh publik setiap hari, kecuali hari Natal. Bahkan, pengunjung bisa ikut masuk ke dalam ruang rapat. Tapi no handphone, no camera dan melewati security guard sekali lagi.

Hari itu kebetulan ada rapat membahas tentang pendidikan. Pampi dan Joel ikut masuk menyaksikan dari balkon, tanpa ada pemisah sama sekali. Tony Abbot juga hadir di pertemuan hari itu. Keren kan, bisa ikutan meeting dengan PM Australia?

Old Parliament House
Kunjungan diplomatik ke AbOriginal Embassy.
Mr. Abbot, I think your presence is highly expected.
Canberra dalam Kenanganku
Tak terlalu kudapat sesuatu yang menggugah rasa kecocokan di hatiku saat di sini. Mungkin yang kutangkap hanya keteraturan dan ketertataan. Kota ini ada tetapi tidak natural, terasa artifisial, terasa buatan. Sepinya memang menggigit, namun sepinya begitu dingin, berbeda dengan sepi di Albury.

Walau...
bagi yang pernah melewatkan kebersamaan dalam waktu yang tanpa jeda bersamanya, Canberra mungkin saja membuat rindu, seperti kata seorang temanku yang pernah kuliah di sana, "I miss Canberra!" atau penuturan mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana, "Memang sepi, tapi kami suka sepinya."




No comments :

Post a Comment